Jika pada Kamis dan Jumat 28 dan 29 November 2013 mendatang langit cerah dan tatapan anda ke cakrawala timur menjelang terbitnya Mentari mendadak bersirobok dengan garis cahaya tebal berwarna keputih-putihan yang menjulang tinggi dari kaki langit, jangan kaget. Apalagi buru-buru mengganggap langit sedang terbelah dan hendak runtuh. Apa yang anda lihat adalah fenomena langit yang telah ditunggu-tunggu dunia dalam setahun terakhir. Itulah bagian dari benda langit yang dikenal sebagai bintang berekor atau komet. Dan komet tersebut menyandang nama komet ISON, (mantan) kandidat komet abad ini. Ya, komet ISON memang diprediksikan bakal sangat benderang saat hendak menjangkau titik terdekat orbitnya terhadap Matahari (perihelion), yang bakal terjadi Jumat 29 November 2013 dinihari mendatang. Kecemerlangan komet ISON memang tak bakal melampaui terangnya Bulan purnama seperti prediksi semula, namun sejauh ini komet ISON tetap bakal menjadi komet paling benderang yang pernah disaksikan umat manusia dalam kurun tujuh tahun terakhir.
|
|
Komet
Kata komet berasal dari “kometes” dalam bahasa Yunani yang bermakna “rambut panjang.” Kata ini kemudian mengalami latinisasi menjadi “cometa” atau “cometes” yang lalu bertransliterasi ke dalam bahasa Inggris (kuna) sebagai “cometa” dengan arti baru: “bintang berambut panjang.” Istilah komet kini disematkan bagi benda-benda langit mirip bintang namun mempunyai bentukan memanjang melebar menyerupai helaian rambut yang panjang, atau mirip ekor, dan bergerak secara relatif terhadap kedudukan bintang-bintang di latarbelakangnya. Makanya komet kadang disebut pula sebagai bintang berekor.
Dalam astronomi, komet merupakan benda langit anggota tata surya sebagaimana planet-planet dan satelit (alami)-nya, namun berukuran jauh lebih kecil dengan diameter berkisar antara beberapa puluh meter hingga beberapa puluh kilometer saja. Jika komet disandingkan dengan planet, katakanlah dengan Merkurius yang merupakan planet terkecil dalam tata surya, maka mereka ibarat kutu berdampingan dengan gajah. Komet baru relatif setara saat disandingkan dengan asteroid. Hanya bedanya, komet rajin memuntahkan gas (yakni uap air dan karbonmonoksida) bercampur debu dari permukaannya, yang disemburkan ke lingkungan sekitarnya layaknya letusan gunung berapi. Butir-butir debu lantas tertinggal di orbitnya dengan kepekatan tertentu dan menampakkan bentuk mirip ekor kala tersinari Matahari. Sementara asteroid tidak demikian. Namun belakangan garis batas ini nampaknya meluntur, sebab kini ditemukan beberapa asteroid yang ternyata hobi menyembur-nyemburkan gas dan debu layaknya komet.
Baik komet maupun asteroid dikenal sebagai anggota tata surya yang ‘binal.’ Dibanding planet, orbit sebuah komet umumnya lebih lonjong, atau dalam bahasa astronomi memiliki nilai eksentrisitas lebih tinggi. Banyak komet yang orbitnya bahkan demikian ekstrim sehingga tak lagi lonjong, melainkan berupa parabola atau hiperbola, yang menjadikan komet bersangkutan tak bakal bertahan lama di tata surya dan bakal segera dihentakkan keluar menuju ruang antar bintang oleh gravitasi Matahari. Bidang orbit komet juga membentuk sudut yang lebih besar terhadap ekliptika, yakni bidang edar Bumi mengelilingi Matahari, atau dengan kata lain memiliki inklinasi lebih besar. Banyak komet juga memiliki inklinasi sedemikian ekstrim sehingga ia berevolusi secara retrograde, atau berkebalikan arah dibanding pola pergerakan planet-planet mengelilingi Matahari. Kombinasi eksentrisitas dan inklinasi yang besar atau bahkan ekstrim membuat komet tak pernah stabil dalam sebuah orbitnya. Dia terus menerus menderita gangguan gravitasi dari planet-planet raksasa, terutama Jupiter dan Saturnus, sehingga orbitnya pun terus-menerus berubah secara perlahan-lahan. Inilah yang membuat komet menjadi ‘binal’, karena pada akhirnya ia akan lenyap dari tata surya akibat salah satu dari keempat faktor berikut: hancur akibat berbenturan dengan sesama komet, hancur akibat bertumbukan dengan planet/satelit alami, terusir keluar dari tata surya dan menguap sepenuhnya akibat terlalu dekat/bertumbukan dengan Matahari.
Hubungan komet dan umat manusia berayun di antara kutub benci dan cinta. Semenjak awal sejarah, komet dipandang dengan rasa benci teramat sangat karena dianggap sebagai benda langit pembawa bencana dan kesialan. Biang keladi anggapan ini boleh jadi Aristoteles, si filsuf besar itu. Pada 2.300 tahun silam langit Yunani dihiasi bintang berekor yang sangat terang hingga menarik perhatian Ephorus dari Cymea dan Callisthenes dari Olynthus. Berselang beberapa waktu kemudian terjadilah gempa besar yang menghancurkan kota-kota kuno Helice dan Buris (Boura) di Semenanjung Achaea. Peristiwa ini yang menjadi dasar bagi Aristoteles untuk menarik hubungan sebab-akibat antara kemunculan bintang berekor di langit dengan terjadinya bencana di muka Bumi. Pemikiran serupa pun berkembang di berbagai peradaban yang terpisah dengan benua Eropa. Misalnya pada peradaban Aztec (Amerika Selatan) pada abad pertengahan, kala maharaja Montezuma mengaitkan komet dengan ramalan kejatuhan imperiumnya, yang benar-benar terjadi akibat serbuan penakluk-penakluk Spanyol.
Namun dalam astronomi modern, anggapan ini tak dihiraukan lagi. Komet lantas hanya dianggap sebagai sejenis benda langit eksotik anggota tata surya saja dan tak berhubungan dengan kejadian apapun di Bumi. Para pecinta komet pun bermunculan. Apalagi benda langit yang satu ini menawarkan ‘keabadian’, jika anda menjadi orang pertama yang berhasil mengamati sebuah komet baru yang tak dikenal sebelumnya, maka besar kemungkinan nama anda akan ditabalkan menjadi nama abadi bagi komet baru tersebut. Jika komet tersebut adalah komet periodik, maka nama anda akan terus terbawa setiap kali komet yang bersangkutan bergerak mendekati Matahari dalam orbitnya sehingga terlihat dari Bumi, tak peduli meski anda sudah berpulang.
Perasaan cinta ini bertahan hingga setengah abad silam, tatkala salah satu rahasia terbesar komet terungkap seiring tercelupnya umat manusia ke dalam era nuklir. Komet ternyata bisa bertumbukan dengan Bumi, sebagaimana asteroid. Dan karena kecepatannya yang sangat tinggi, peristiwa tumbukan komet mampu melepaskan energi teramat besar yang bisa menjadikannya bencana global dengan skala kedahsyatan yang tak terperi untuk manusia, bahkan di zaman modern sekalipun. Punahnya kawanan dinosaurus beserta 75 % kelimpahan makhluk hidup sezaman pada 65 juta tahun silam merupakan ulah komet. Pun demikian dengan bencana 250 juta tahun silam, yang bahkan jauh lebih dahsyat lagi karena menyapu bersih 96 % kelimpahan spesies makhluk hidup saat itu.
Seterang Bulan Purnama ?
21 September 2012, astronom Vitali Nevski dan Artyom Novichonok sedang menjalankan rutinitas hariannya di fasilitas ISON (International Scientific Optical Network) yang terletak di Kislovodsk, kawasan Kaukasia (Russia) saat mata keduanya bersirobok dengan sebuah bintik cahaya tak biasa. Bintik itu amat sangat redup, 250 kali lebih redup dibanding planet kerdil Pluto, namun dapat diabadikan dengan baik melalui teleskop pemantul yang cermin obyektifnya berdiameter 40 cm. Bintik cahaya yang sama ternyata sempat terekam sebelumnya oleh Observatorium Mt Lemmon, Arizona (28 Desember 2011) dan Teleskop Pan-STARRS 1, Hawaii (28 Januari 2012). Berdasar data-data tersebut maka diketahui bintik cahaya redup itu ternyata sebuah komet baru yang belum pernah terdata sebelumnya.
Secara resmi komet baru itu kemudian dinamakan komet C/2012 S1 ISON atau disebut komet ISON (saja), sesuai dengan nama fasilitas tempat Nevski dan Novichonok pertama kali melihatnya. Nama komet ini sempat menjadi kontroversi, karena ada yang beranggapan seharusnya komet baru itu menyandang nama komet Nevski-Novichonok. Namun tata nama komet yang sudah diperbaharui dalam IAU (International Astronomical Union) menegaskan bahwa komet bisa dinamakan dengan nama orang penemunya jika fasilitas yang digunakan (teleskop dan perlengkapannya) merupakan milik pribadi, bukan milik sebuah institusi/lembaga.
Ada dua kejutan yang menyertai penemuan komet yang orbitnya berbentuk parabola dengan inklinasi 61 derajat ini. Yang pertama, komet ISON ditemukan kala jaraknya ke Bumi masih cukup jauh dan komet berada di antara orbit Jupiter dan orbit Saturnus. Sangat jarang sebuah komet baru ditemukan di lokasi sejauh ini. Satu di antaranya adalah komet Hale-Bopp, yang ditemukan pada 1995 dan memesona penduduk Bumi dalam dua tahun kemudian sebagai salah satu komet terang (great comet) dalam sejarah modern.
Dan yang kedua, komet ISON bakal berjarak sangat dekat dengan Matahari saat tiba di perihelionnya, yakni dalam jarak hanya 1,25 juta kilometer dari permukaan fotosfera Matahari. Pada umumnya komet yang berjarak terlalu dekat dengan Matahari akan menjadi komet terang atau bahkan sangat terang. Data-data awal observasi komet ISON menguatkan hal tersebut. Saat berada di perihelionnya pada 29 November 2013 dinihari waktu Indonesia, komet ini diprediksi bakal sangat terang, bahkan dikatakan lebih terang dibanding Bulan purnama !
Tingkat terang sebuah benda langit dinyatakan dalam besaran magnitudo semu yang bersifat relatif. Semakin besar nilai magnitudo semunya maka semakin redup benda langit tersebut dan sebaliknya semakin kecil nilainya maka semakin terang ia. Matahari merupakan benda langit terterang bagi kita di Bumi dan memiliki magnitudo semu -26. Sementara magnitudo semu Bulan purnama adalah -12, yang menjadikannya benda langit terterang kedua bagi manusia. Dan Venus menduduki peringkat ketiga dengan magnitudo semu -4. Bintang-bintang di langit pada umumnya memiliki magnitudo semu 0, +1, +2, +3 dan seterusnya. Mata manusia mampu mendeteksi benda langit dengan magnitudo semu +6, asalkan jauh dari pemukiman penduduk dan berada di lingkungan yang betul-betul gelap. Namun di kota-kota besar, pada umumnya mata manusia hanya mampu mendeteksi benda langit dengan magnitudo semu maksimum +1 atau bahkan 0, akibat polusi cahaya yang teramat parah.
Hingga Februari 2013 komet ISON diprediksi bakal memiliki magnitudo semu maksimum -13,5 saat berada di perihelionnya, berdasarkan ribuan data observasi. Prediksi paling optimistik bahkan mengatakan komet ISON bakal mencapai magnitudo semu maksimum -17. Dengan demikian ia bakal 4 hingga 100 kali lebih benderang dibanding Bulan purnama. Jika prediksi ini benar dan menjumpai kenyataan, maka komet ISON bakal menjadi paling benderang yang disaksikan penduduk Bumi sepanjang setengah abad terakhir pasca kemunculan komet Ikeya-Seki pada 1965-1966. Karena itu komet ISON sempat disebut-sebut sebagai kandidat “komet abad ini”. Namun pasca Maret 2013, observasi demi observasi membuahkan data-data terbaru yang menunjukkan komet ISON sedang mengalami perlambatan peningkatan kecemerlangan. Sehingga belakangan muncul revisi yang mencoba lebih realistis, yang menempatkan komet ISON bakal memiliki magnitudo semu maksimum lebih rendah dibanding prediksi semula, yakni ‘hanya’ -6. Predikat kandidat “komet abad ini” pun dicabut. Namun setidaknya ISON masih tetap cukup terang yang mungkin menyamai kecemerlangan komet McNaught pada 2006 silam. Prediksi magnitudo semu maksimum yang lebih pesimistik dibarengi dengan pesimisnya masa depan komet ini. Sebab dengan jarak yang terlalu dekat terhadap Matahari, ada kemungkinan bahwa komet ISON akan hancur/pecah sehingga takkan menghiasi langit lagi selepas November 2013.
Indonesia
Pada awal Oktober 2013, komet ISON mulai menyeberangi orbit Mars dan berhasil diabadikan wahana antariksa MRO (Mars Reconaissance Orbiter). Semenjak itu komet ISON terus bergerak menyeberangi ruang di antara orbit Mars dan orbit Bumi dan akhirnya mulai menyeberangi orbit Bumi di awal November 2013 ini. Meski telah menyeberangi orbit Bumi, namun konfigurasi orbit komet ISON terhadap orbit Bumi adalah demikian rupa sehingga di awal November ini jarak Bumi ke komet ISON (yakni 1,2 SA) masih lebih besar dibanding jarak rata-rata Bumi-Matahari (yakni 1 SA). Dengan terus mendekatnya komet ISON ke Matahari, maka perlahan namun pasti komet ini kian benderang hingga akhirnya bakal mencapai puncaknya di 29 November 2013 mendatang.
Indonesia mendapat keuntungan terkait posisinya yang berada di sekitar khatulistiwa. Semenjak awal November 2013 komet ISON mulai menyeberangi ekliptika ke selatan, sehingga mayoritas wilayah Indonesia mampu menyaksikannya di langit timur kala fajar sebelum Matahari terbit. Pada awal November, magnitudo semu komet ISON masih berada di kisaran +8 hingga +7, sehingga masih terlalu redup untuk bisa disaksikan mata tanpa alat bantu, kecuali dengan teleskop atau binokuler. Mulai 17 November 2013, magnitudo semu komet ISON secara teoritis mulai melampaui +6 sehingga mata manusia mulai mampu mendeteksinya. Namun dalam langit yang mulai benderang oleh cahaya fajar, maka komet ISON boleh jadi bakal mulai bisa disaksikan publik secara luas sejak 24 November 2013, saat komet mulai melampaui magnitudo semu +4. Pada saat itu komet masih berupa bintik cahaya redup layaknya bintang-bintang disekelilingnya.
Pada puncaknya, komet ISON bakal menyajikan panorama menakjubkan sepanjang 28 hingga 30 November 2013, saat magnitudo semunya bernilai negatif. Selain sangat terang, komet ISON pada sat itu juga diperkirakan telah menampakkan ekornya secara kasat mata. Dan pada saat komet ISON mencapai perihelionnya, yakni Jumat 29 November 2013, komet ini bahkan diprediksikan bakal terlihat di kala siang mengingat magnitudo semunya melampaui -4. Sepanjang hari itu komet dapat disaksikan dengan mudah, sepanjang kita tidak menatap langsung ke arah Matahari.
Nah, bagaimana komet ISON pasca November 2013? Ikuti bagian kedua dari tulisan ini.
trimakasih untuk informasinya…
itu di pulau jawa bisa terlihat apa ndak ya kometnya…