Teleskop landasbumi (teleskop antariksa) berbasis sinar inframerah milik badan antariksa AS (NASA) di bawah tajuk WISE (Wide-field Infrared Survey Explorer) telah menyelesaikan misi utamanya pada Februari 2011 silam. Hasil-hasil pemetaan dari teleskop yang mengangkasa semenjak 14 Desember 2009 itu pun telah mulai dipublikasikan. Sejumlah temuan menarik baik dalam lingkungan tata surya kita maupun diluarnya telah mengemuka dan memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan yang selama ini masih mengambang. Salah satunya tentang Planet X. Kerja keras WISE membuat ide Planet X kini boleh dikata telah terpaku dalam peti matinya dan siap dikubur dalam liang lahat sejarah.
Gagasan tentang Planet X telah mengemuka lebih dari 1,5 abad silam tepatnya pasca penemuan planet Neptunus. Neptunus sendiri berjumpa dengan manusia setelah terlihat adanya perbedaan antara gerak planet Uranus hasil pengamatan, yang nampak lebih lambat ketimbang hasil perhitungan. Dengan mengaplikasikan hukum gravitasi Newton, John Couch Adams (Inggris) dan Urbain Le Verrier (Perancis) mencoba menyelidiki faktor-faktor potensial penyebabnya. Secara terpisah dan tak saling berkomunikasi, keduanya mendapati harus ada planet tak dikenal bermassa cukup besar, lebih besar ketimbang massa Bumi, sehingga gangguan gravitasinya mampu menarik planet Uranus demikian rupa sehingga ia bergerak lebih lambat. Namun Adams gagal meyakinkan otoritas Observatorium Greenwich untuk melacak planet tak dikenal dengan lebih dini. Sebaliknya Le Verrier lebih beruntung dengan Observatorium Paris. Dan tatkala Observatorium Paris tak memiliki peta bintang yang memadai untuk membantu pelacakannya, Le Verrier pun disarankan pergi ke Observatorium Berlin (Jerman). Di sinilah Neptunus ditemukan oleh Johann Galle (direktur observatorium) bersama d’Arrest (asistennya).
Penemuan Neptunus adalah kejutan besar bagi dunia ilmu pengetahuan saat itu. Namun ditemukannya Neptunus tak menyelesaikan persoalan, karena anehnya gerak Uranus tetap saja lebih lambat dibandingkan dengan yang diperhitungkan meskipun massa Neptunus telah turut dimasukkan. Belakangan bahkan diketahui gerak Neptunus juga lebih lambat dibanding yang diperhitungkan. Bagi Le Verrier, keanehan ini hanya berarti satu hal, ada planet lain tak dikenal jauh di luar sana, yang berjarak lebih jauh dari Matahari ketimbang Neptunus. Gagasan inilah yang di kemudian hari dikenal sebagai Planet X. Gagasan tersebut memicu histeria besar di dunia ilmu pengetahuan sepanjang awal abad ke-20, khususnya lewat tangan Percival Lowell. Sosok jutawan yang kepincut dengan bintang-gemintang di langit malam ini kemudian memutuskan membangun observatorium guna menuntaskan hasratnya tentang Planet X. Histeria sempat mencapai kulminasi saat Clyde Tombaugh, pemuda belia putra petani yang kemudian di observatorium Lowell, menjumpai benda langit tak dikenal yang kemudian dinamakan Pluto pada awal 1930. Planet ini sempat dianggap sebagai Planet X, meski di kemudian hari ternyata mengecewakan karena ukuran dan massanya jauh lebih kecil ketimbang Bumi kita. Padahal planet X harus lebih besar dan lebih massif ketimbang Bumi.
Nemesis dan Tyche
Meski perhatian terhadapnya kian menyurut pasca ditemukannya Pluto, pencarian ilmiah akan Planet X tetap berlangsung hingga setengah abad kemudian. Kali ini tumbuhnya cabang ilmu pengetahuan baru, yakni fisika energi tinggi yang diaplikasikan pada ledakan nuklir dan tumbukan benda langit, dianggap menyajikan landasan baru nan menjanjikan. Bermula dari hipotesis palentologis David Raup dan Jack Sepkoski (1984), yang mengidentifikasi terjadinya perulangan waktu kejadian tumbukan benda langit berukuran raksasa setiap 26 juta tahun sekali (rata-rata) dalam 250 juta tahun terakhir. Apa penyebab perulangan ini belum jelas, namun diduga disebabkan oleh faktor berskala besar dalam tata surya kita dan bukan berasal dari Bumi. Maka lahirlah hipotesis Shiva, dimana setiap 26 juta tahun sekali terjadi gangguan besar pada tata surya kita sehingga stabilitas rapuh yang dimiliki awan komet Opik-Oort di tepian tata surya pun terganggu berat. Akibatnya sejumlah isinya (yakni kometisimal) pun terlepas dan meluncur ke tata surya bagian dalam menjadi komet-komet dalam jumlah bejibun hingga menghasilkan fenomena ‘hujan komet.’ Akibatnya cukup fatal bagi Bumi. Sebab hantaman sebutir komet dengan diameter inti hanya 1 km namun melejit pada kecepatan 40 km/detik mampu membentuk kawah tumbukan berdimensi raksasa di permukaan Bumi, yang menyemburkan material tumbukan (ejecta) ke atmosfer dengan demikian pekat sehingga mampu menghalangi pancaran sinar Matahari yang seharusnya tiba di permukaan Bumi.
Inilah yang membuat gagasan Planet X bermetamorfosis menjadi Nemesis pada tahun 1984. Ide Nemesis pertama kali diapungkan dua kelompok astronom, masing-masing kelompok Daniel P. Whitmire serta kelompok Marc Davis. Nemesis dianggap sebagai bintang redup (katai merah) yang menjadi pasangan Matahari dan beredar mengelilingi Matahari dalam orbit sangat lonjong dengan kelonjongan (eksentrisitas) sebesar 0,7. Nemesis memiliki rata-rata 95.000 SA (satuan astronomi) dari Matahari, atau setara dengan jarak 1,5 tahun cahaya. Dengan jarak tersebut maka Nemesis diperkirakan memiliki magnitudo antara +7 hingga +12. Berdasarkan aphelion orbit komet-komet berperiode sangat panjang tertentu yang anomalik, maka Nemesis pada saat ini diperkirakan berada di rasi Hydra.
Selain Nemesis, ide Planet X juga bermetamorfosis ke bentuk lain yakni gagasan tentang planet Tyche yang mulai mengemuka pada 1999. Seperti halnya Nemesis, ide akan planet Tyche pun dikembangkan Daniel P. Whitmire sebagai jawaban atas anomali pada aphelion orbit komet-komet berperiode sangat panjang tertentu. Tyche dianggap sebagai planet gas raksasa yang belum ditemukan dan berada pada jarak 15.000 SA dari Matahari, atau 500 kali lipat lebih besar ketimbang jartak rata-rata Matahari ke Neptunus. Tyche dianggap beredar mengelilingi Matahari sekali setiap 1,8 juta tahun. Massa Tyche dianggap 4 kali lebih besar ketimbang Jupiter namun sebaliknya diameternya sama. Oleh pemanasan internal akibat bekerjanya mekanisme Kelvin-Helmhlotz, maka Tyche diperkirakan memiliki suhu rata-rata minus 73 derajat Celcius atau tergolong hangat untuk lingkungannya.
Gagasan tentang Nemesis dan planet Tyche tentu saja membutuhkan pembuktian. Dan salah satu kunci untuk membuktikannya adalah dengan memetakan langit pada spektrum sinar inframerah. Baik Nemesis maupun Tyche mungkin sangat redup sehingga sangat sulit disaksikan dengan teleskop yang bekerja pada spektrum cahaya tampak. Sebaliknya jika menggunakan sinar inframerah, mereka akan tampak benderang (jika memang ada).
Dikubur
Penemuan Sedna di tahun 2003 sempat dianggap sebagai bahan aditif yang memperkuat gagasan Nemesis dan Tyche. Sedna merupakan benda langit transneptunik yang dianggap sebagai kometisimal, bagian dari awan komet Opik-Oort sebelah dalam. Orbit Sedna sangat berbeda dibanding benda-benda langit anggota tata surya lainnya (kecuali komet) karena sangat lonjong dengan perihelion 76 SA (2,5 jarak Matahari-Neptunus) namun dengan aphelion melambung demikian jauh hingga mencapai 975 SA (32,5 jarak Matahari-Neptunus). Salah satu alasan untuk menjelaskan anehnya orbit Sedna adalah bahwa kometisimal ini mengalami gangguan gravitasi cukup intensif dari Nemesis atau Tyche, sehingga tertarik keluar dari orbitnya semula dan dipaksa menempati orbit yang dihuninya pada saat ini.
Semua anggapan itu berantakan di tahun 2014 setelah hasil pemetaan WISE dipublikasikan pada Maret 2014 ini. Setelah ‘mengaduk-aduk’ lingkungan sekitar tata surya kita hingga sejauh 500 tahun cahaya dari Matahari, WISE tidak menemukan benda langit seukuran planet Jupiter hingga sejauh 26.000 SA dari Matahari. WISE juga tak menemukan benda langit sebesar planet Saturnus hingga sejauh 10.000 SA dari Matahari. Fakta ini meruntuhkan gagasan planet Tyche, yang semula dianggap menempati orbit sejarak 15.000 SA dari Matahari. WISE memang berhasil menjumpai 3.525 buah bintang baru hingga sejauh 500 tahun cahaya dari Matahari. WISE berhasil menemukan sistem bintang ganda Luhman-16 (WISE J104915.57-531906), yang beranggotakan sepasang bintang katai coklat. Bintang ganda ini diketahui hanya berjarak 6,6 tahun cahaya dari Bumi kita, menjadikannya bintang non-Matahari terdekat ketiga terhadap Bumi setelah sistem bintang ganda alpha Centauri (4,4 tahun cahaya) dan bintang Barnard 6,0 tahun cahaya). Tak ada bintang katai merah/coklat lainnya yang lebih dekat dengan tata surya kita yang berhasil dijumpai WISE. Dengan demikian gagasan Nemesis pun turut gugur.
Hasil pemetaan WISE sekaligus menegaskan apa yang telah disimpulkan dari pemetaan teleskop landasbumi berbasis inframerah yang beroperasi pada 3 dekade silam, yakni IRAS (Infrared Astronomical Satellite). Saat itu IRAS pun memastikan bahwa tidak ada benda langit seukuran planet Jupiter yang mengedari Matahari kita hingga jarak 10.000 SA. IRAS juga memastikan tak ada benda langit menyerupai ciri-ciri Nemesis yang ada di dalam tata surya kita. Kesimpulan IRAS diperkuat oleh pemetaan 2MASS (Two Micron All Sky Survey) yang diselenggarakan antara tahun 1997 hingga 2001 di Observatorium Mount Hopkins, Arizona (AS) dan Observatorium Inter-Amerika di Cerro Tololo (Chile). Pemetaan 2MASS pun tak menjumpai benda langit sesuai ciri-ciri Nemesis.
Meski masih tetap menunggu hasil pemetaan terbaru melalui teleskop PanSTARRS di Hawai (AS) dan teleskop LBT (Large Binocular Telescope) yang masih dibangun sesuai dengan tradisi ilmiah, namun hasil pemetaan WISE yang didukung IRAS dan 2MASS sudah memperlihatkan betapa gagasan tentang Planet X maupun turunannya dalam bentuk Nemesis dan Planet Tyche sudah bisa dipakukan ke dalam petimatinya dan siap dikubur dalam liang lahat sejarah. Sehingga saat ini kita bisa mengatakan, Planet X adalah tidak ada.
Referensi : Calvin. 2014. NASA’s WISE Survey Finds Thousands of New Stars, But No ‘Planet X’. NASA Jet Propulsion Laboratory, 7 Maret 2014.