Melacak Jejak Observatorium Mohr di Glodok

Situs Astronomi

Mentari pagi mulai menghangatkan Jakarta saat kaki mulai berjalan menyusuri jalan Kemurnian 1 tepat di sebelah barat halte Transjakarta kawasan Glodok, Jakarta Barat, setelah menyeberangi Jalan Gajah Mada yang mulai ramai. Tidak jauh menapaki jalan yang lebih pantas disebut lorong sempit di belantara beton Jakarta itu, sebuah bangunan bertingkat tinggi dengan warna hijau muda yang terkesan masih baru nampak di pelupuk mata. Tak lama kemudian bangunan lain yang terkesan lebih kuno, lebih rendah dengan dominasi warna merah berpadu unsur-unsur oriental pun nampak. Hati pun langsung berdesir. Ya, inilah lokasi dua tempat bersejarah yang saling berdampingan itu: wihara Dharma Bhakti dan tapak observatorium Mohr.

Jalan Kemenangan Raya di kawasan Glodok (Jakarta Barat) di kala pagi, penuh dengan kendaraan diparkir dan pedagang. Sumber : Sudibyo, 2012.

Aktivitas pagi sepenggal kawasan Glodok di pertengahan Mei 2012 itu tak jauh beda dengan hiruk pikuk bagian Jakarta lainnya sehari-hari. Meski ukuran jalan relatif sempit, arus lalu lintas amat padat dan hiruk pikuk, penuh dengan segala macam kendaraan bermotor roda dua dan empat, baik yang uzur maupun gres. Jalan Kemenangan Raya yang sempit di sisi timur wihara bahkan berfungsi pula sebagai pasar pagi. Berbagai pedagang tumpah ruah memenuhi sisi jalan, bercampur baur dengan mobil dan motor yang diparkir. Air selokan kehitaman yang tak mengalir meruapkan bau busuk, berkompetisi dengan semburan asap kendaraan guna menyesaki paru-paru. Segala macam suara pun terdengar, mulai dari teriakan pedagang menawarkan tahu jualannya hingga sumpah serapah pengendara motor yang terjebak macet. Poster-poster kecil bertempelan dimana-mana sebagai bagian kemeriahan pilkada DKI Jakarta, baik dari yang berkumis, berbaju kotak-kotak, berpeci, maupun yang berjanji sanggup membereskan segenap masalah hanya dalam waktu tiga tahun.

Dari Mason-Dixon ke Mollenvliet
Hiruk pikuk Glodok masa kini barangkali tak pernah sepintas pun terlintas dalam benak seorang Johann Mauritz Mohr 2,5 abad silam. Pemuda keturunan Jerman-Belanda yang lahir di Eppingen (Belanda) 18 Agustus 1716 itu pada usia 21 tahun memutuskan pergi ke seberang lautan, menetap di kota permata dari timur berjuluk Batavia, selepas pendidikannya di Universitas Gottingen. Setelah berpindah-pindah tempat, Mohr memilih Mollenvliet (kini Glodok) sebagai salah satu tempat tinggalnya. Saat itu Mollenvliet masihlah sunyi dan gelap gulita di kala malam, sehingga layak dijuluki tempat ‘jin buang anak’. Kota Batavia saja hanyalah sepetak tanah yang membentang antara pelabuhan Sunda Kelapa hingga gedung Stadhuis/balaikota (kini Museum Fatahillah) dan stasiun kereta api. Mollenvliet tergolong udik dan hanya dihuni orang-orang Hoakiau (Cina perantauan) dan keturunannya, sebagai bagian politik isolasi VOC pasca huru-hara besar bertajuk Geger Cina. Wihara Dharma Bhakti, atau dikenal juga sebagai kelenteng Kim Tek I atau Cin te Yuen (Jinde Yuen dalam bahasa lokal) menjadi saksi bisu hari-hari berkuah darah saat Geger Cina meletup, kala sedikitnya 10.000 orang terbunuh dalam sebuah episode pembantaian besar-besaran yang sistematis selama tiga minggu penuh di bulan Oktober 1740 atas perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier.

Kelak di kemudian hari, pilihan Johann Mauritz Mohr tinggal di Mollenvliet sungguhlah tepat. Pendeta yang kemudian diambil menantu Jan van’t Hoff, salah satu orang terkaya Batavia, setelah istri pertamanya wafat itu dikenal akan minatnya terhadap astronomi, meteorologi dan vulkanologi, meski kesibukan tugas kependetaannya sehari-hari amat menyita waktu apalagi setelah menjabat rektor Seminari Teologia Batavia. Walaupun tinggal di belahan dunia bagian timur, korespondensinya yang intens dengan sahabat-sahabatnya di Eropa membuatnya memahami persoalan-persoalan keilmuan yang berkembang pada saat itu, termasuk dalam astronomi. Masalah utama yang menghinggapi dunia astronomi saat itu adalah problem jarak Bumi-Matahari yang sebenarnya. Sebab seluruh jarak planet-planet lain yang telah dikenal hingga saat itu (kecuali Uranus dan Neptunus) ke Matahari merupakan fraksi atau kelipatan tertentu dari jarak Bumi-Matahari. Padahal pada saat itu nilai jarak Bumi-Matahari “hanya” 7,97 juta km atau “hanya” 21 kali lipat lebih jauh ketimbang Bulan, angka yang cukup dekat bagi ukuran dalam skala tata surya.



Sir Edmund Halley, astronom besar Inggris kelahiran 1656 yang namanya ditabalkan menjadi nama komet paling populer, mencoba menyelesaikan problem ini dengan memanfaatkan fenomena langit yang amat sangat langka, yakni Transit Venus. Dan peristiwa tersebut bakal terjadi pada 6 Juni 1761 dan 4 Juni 1769. Ini tergolong jenis pengamatan yang relatif sulit, karena selain tak bakal nampak di separuh belahan Bumi yang kurang beruntung, sepanjang sejarah astronomi hanya ada sekali catatan keberhasilan observasi transit Venus, yakni oleh Jeremiah Horrocks, astronom amatir muda belia dari Inggris, pada Transit Venus 1639. Itupun tidak seluruh tahap transit dapat diamati karena faktor mendung dan terbenamnya Matahari.

Menyadari dirinya mungkin tak bakal berumur cukup panjang untuk menjumpai kedua peristiwa itu (faktanya Halley wafat pada 1742), dengan setengah putus asa Halley menerbitkan risalah, meminta perhatian seluruh astronom akan pentingnya pengamatan transit Venus sekaligus menyodorkan kawasan terbaik untuk memantaunya : Batavia dan Semenanjung Malaya. Gayung pun bersambut. Namun demikian diseminasi informasi ke Batavia tergolong lambat dan sempat diwarnai tarik-menarik dua kekuatan adidaya saat itu : Perancis dan Inggris. Pada akhirnya baik Perancis (dengan tim ilmiah yang dipimpin Delisle, astronom sekaliber Halley) maupun Inggris (di bawah pimpinan Mason dan Dixon) batal mengirim ekspedisi ilmiah pengamatan transit Venusnya ke Batavia dan Sumatra.

Di Batavia, Gubernur Jenderal Jacob Mossel memerintahkan pelaksanaan pengamatan Transit Venus 1761 oleh “orang sendiri”, yang direncanakan dipimpin Pieter Hermanus Ohdem. Ohdem adalah matematikus dan astronom ulung, yang mempesona Belanda dengan laporan pengamatan komet Halley pada 1759. Namun sayangnya Ohdem sudah mudik ke tanah Belanda. Akhirnya tim pengamat dipercayakan pada Gerrit de Haan (kepala departemen pemetaan VOC) dengan beranggotakan Pieter Jan Soele (salah satu kapten kapal VOC) dan Johann Mauritz Mohr. Pengamatan dilangsungkan pada sebidang tanah sangat luas bernama Kliphoff, kepunyaan Mohr, yang terletak bersebelahan dengan pelabuhan Sunda Kelapa. Pengamatan bertulangpunggungkan dua teleskop reflektor Gregorian, masing-masing dengan panjang fokus 46 cm dan 68 cm, dilengkapi oktan London dan beberapa jam saku yang telah dikalibrasi.

Cuaca cerah dan terlihatnya semua tahap transit menjadikan Batavia memenuhi apa yang diprediksikan Halley sebelumnya, yakni sebagai lokasi pengamatan Transit Venus 1761 paling sukses. Apalagi bila dibandingkan nasib mengenaskan ekspedisi Mason-Dixon ke Tanjung Harapan (Afrika Selatan), yang mendadak ditembaki pasukan Perancis saat hendak berlabuh sehingga 11 anggota tim tewas. Demikian halnya dengan ekspedisi Galaiserre (Perancis) ke Pondicherry (India) yang gagal total saat kota tujuannya jatuh ke tangan Inggris. Juga ekspedisi Guy Pingre (Perancis) yang berantakan akibat sergapan bajak laut yang beranggotakan orang-orang Inggris. Saat itu Inggris dan Perancis sedang terlibat Perang Tujuh Tahun, dengan aroma permusuhan menyeruak dimana-mana, bahkan di tanah jajahan masing-masing negara.

Transit Venus 1769 dan Observatorium Mohr
Sukses dalam mengamati Transit Venus 1761 mendorong Johann Mauritz Mohr mempersiapkan pengamatan transit Venus berikutnya. “Keberuntungan” seakan menghinggapinya saat mertuanya wafat pada 1765 dan mewariskan harta sangat besar. Uang berlimpah membuat Mohr melaksanakan rencananya: memiliki sebuah observatorium pribadi. Dengan dana 200.000 gulden atau setara Rp 82 milyar (kurs Juni 2012), dibangunlah sebuah gedung megah bertingkat 6 setinggi 24 meter di samping wihara Kim Tek I, Mollenvliet, yang sekaligus menjadi tempat tinggal. Inilah gedung tertinggi di Batavia sekaligus di Hindia Belanda (Indonesia saat itu), yang skala kemegahannya hanya bisa disaingi istana gubernur jendral di Buitenzorg (kini Bogor). Demikian megahnya sehingga bangunan ini bahkan menjadi landmark Batavia dan menjadi buah bibir masyarakat. Smapai-sampau jalan kecil yang menuju ke observatorium pun dinamakan torrenlaan (jalan menara), yang dalam lidah penduduk lokal disebut gang torong (transliterasi dari torren menjadi torong).

Wihara Kim Tek I (kiri) dan bangunan observatorium Mohr yang menjulang tinggi (kanan) dalam lukisan Johannes Rach (1770). Arah pandang ke utara. Sepenggal jalan di sisi kanan adalah jalan Kemenangan Raya. Sumber : Gunawan dkk, 2012.

Lantai observasi terletak pada tingkat teratas dan sanggup meneropong ke segala penjuru. Kemegahan observatorium berbanding lurus dengan instrumennya. Tak tanggung-tanggung, Johann Mauritz Mohr memesan instrumen astronomi terbaik di zamannya melalui tangan Johann Lulofs, profesor matematika dan filsafat di Leiden (Belanda) yang juga sobat kentalnya. Pengiriman instrumen dilakukan secara bertahap antara 1765 hingga 1767. Maka jadilah observatorium Mohr sebagai bertulangpunggungkan teleskop reflektor Gregorian buatan Dollond (Inggris) dengan panjang fokus 107 cm yang sanggup menjangkau langit utara dan selatan dengan mudah. Menyadari bahwa posisi lintang dan bujur Batavia yang diketahui selama ini kurang akurat, yang pertama kalinya disadari saat pengamatan Transit Venus 1761 di Batavia, Mohr mengukur posisi garis lintang dan bujur yang melintasi Batavia dengan mengamati pergerakan satelit-satelit Jupiter. Didapatlah angka lintang 6 LS dan bujur 104,5 BT dengan acuan meridian Paris. Pengukuran ini dilaksanakan pada 1767. Selain itu Mohr juga mencatat dinamika cuaca Batavia dan dinamika deklinasi magnetik Batavia dari waktu ke waktu.

Transit Venus 1769 yang terjadi pada 4 Juni 1769 merupakan peristiwa alam yang ditunggu-tunggu sejagat, sampai-sampai aristokrat Eropa seperti Raja George III dari Inggris, Ratu Katarina Agung dari kekaisaran Rusia dan Raja Charles VII dari kerajaan Norwegia-Denmark. Batavia pun telah menunggu, meskipun bila dibandingkan Transit Venus 1761 kali tergolong kurang beruntung karena hanya menjumpai sebagian tahap transit. Pada saat Matahari terbit bagi Batavia, transit Venus telah berlangsung sejak 4 jam sebelumnya. Selama 2 jam kemudian langit Batavia ditutupi mendung sehingga Mohr tak dapat menyaksikan citra Matahari. Meski demikian sejak sekitar pukul 8 pagi Matahari telah terlihat sehingga bundaran hitam Venus pun teridentifikasi. Pada akhirnya Mohr mendapati waktu kontak III dan IV Transit Venus 1769 dari Batavia, masing-masing terjadi pukul 08:30:13 dan 08:30:31, berdasarkan pengamatan menggunakan heliometer dengan jam pendulum tipe Graham dan kuadran seukuran 76cm sebagai pemandu waktu.

Arsitektur observatorium Mohr dalam lukisan J. Clement. Sumber : Gent, 2004.

Meski hanya menjumpai sebagian kecil tahap transit, lagi-lagi Mohr termasuk beruntung bila dibandingkan dengan ekspedisi Galaiserre ke Pondicherry, yang kembali menjumpai kegagalan meski kali ini akibat mendung. Apalagi dengan nasib tragis ekspedisi d’Auteroche (Perancis) ke dataran california (saat itu masih milik Meksiko), yang meskipun mencetak sukses namun terbantai habis tanpa sisa akibat berkecamuknya wabah penyakit misterius. Dari 77 titik pengamatan di berbagai penjuru, termasuk Batavia, didapatkan lebih dari 150 data. Proporsi serupa juga muncul dalam Transit Venus 1761, dimana dari 60 titik pengamatan, termasuk Batavia, dihasilkan lebih dari 120 data. Data berlimpah memungkinkan Jerome Lalande (Perancis) menghitung kembali jarak Bumi-Matahari dan menghasilkan angka 153 juta km. Ini hanya berselisih 0,4 % terhadap nilai modern jarak Bumi-Matahari untuk bulan Juni.

Angka itu jauh lebih besar dibanding angka Ptolomeus. Sehingga tak salah bila transit Venus disebut “palu godam terakhir yang merubuhkan teori geosentris” sekaligus mengukuhkan kebenaran heliosentris (Matahari sebagai pusat tata surya). Apalagi setelah Cavendish, dua dekade pasca Transit Venus 1769, berhasil memformulasikan nilai konstanta gravitasi universal yang membuat kita mampu “menimbang” Bumi dalam beragam cara, mulai dari penggunaan nilai percepatan gravitasi permukaan Bumi dengan jejari Bumi hingga nilai jarak Bumi-Bulan dengan periode revolusi Bulan. Cara-cara tersebut menghasilkan massa Bumi relatif sama. Namun bila diterapkan pada teori geosentrik, dengan periode gerak semu tahunan Matahari telah diketahui dan memanfaatkan nilai jarak Bumi-Matahari menurut transit Venus, didapat nilai massa Bumi yang sangat besar, hingga lebih dari 355.000 kali lipat nilai massa Bumi berdasarkan cara-cara sebelumnya. Selisih yang sangat besar ini jelas menunjukkan ada yang tidak pas, sebab jika dibandingkan dengan Jupiter saja (yang adalah planet terbesar dalam tata surya) ternyata massa Jupiter “hanya” 318 kali Bumi kita. Sementara bila dibalik, yakni menerapkan teori heliosentris, maka masuk akal bila massa sangat besar itu merupakan massa Matahari.

Gempa dan Kehancuran
Selain pengamatan Transit Venus 1769, Mohr juga mengamati Transit Merkurius 1769 yang terjadi hanya berselang 5 bulan kemudian. Laporan lengkap kedua pengamatan tersebut disajikan dalam bahasa Latin dan amat memikat kapten James Cook (Inggris) yang sedang singgah di Batavia sekembalinya dari pengamatan Transit Venus 1769 di Tahiti. Berkat James Cook pula observatorium Mohr mendunia setelah hasil pengamatannya dipublikasikan dalam perhimpunan ilmuwan prestisius Royal Society di London.

Perbandingan konfigurasi bangunan di wihara Dharma Bhakti pada masa kini (kiri) dan 250 tahun silam (kanan). Perhatikan kesamaan kenampakan pada masing-masing tanda panah. Sumber : Sudibyo, 2012.

Observatorium Mohr tidak berumur lama. Johann Mauritz Mohr wafat pada 25 Oktober 1775 setelah didera sakit. Tak ada informasi dimana pemakamannya. Namun dengan status sosial dan kemasyhurannya, Mohr kemungkinan dimakamkan di Nieuw Hollandsche Kerk, lahan pemakaman di samping gereja kristen Batavia (kini Museum Wayang, kotalama Jakarta). Berselang tujuh tahun sepeninggal Mohr, istrinya pun menyusul wafat, tepatnya pada bulan Mei 1782. Saat pemakaman baru di Kebon Jahe Kober (kini Museum Taman Prasasti) dibuka pada 1795, kemungkinan besar jasad sepasang suami istri ini turut dipindahkan ke sana.

Aktivitas observatorium langsung berhenti sepeninggal Mohr. Apalagi setelah Batavia diguncang gempa hebat pada 1780 yang membuat bangunan observatorium Mohr rusak berat dan ambruk. Kehancuran ini, yang menunjukkan terjadinya getaran sangat keras dengan intensitas getaran mungkin mencapai 7 MMI (Modified Mercalli Intensity) atau lebih, mengindikasikan sumber gempa adalah dangkal dan terletak dekat dengan Batavia, sehingga mungkin berasal dari patahan geser di selatan/barat Batavia. Namun sebelum gempa terjadi, Anna van’t Hoff telah menjual instrumen observatorium kepada Johanes Hooijman pada tahun 1776. Karena sebagian besar telah rusak akibat kelembaban tinggi di Batavia, Hooijman mengirimkannya kembali ke Belanda untuk diperbaiki. Kini berbagai instrumen tersebut masih tersisa di sejumlah museum di Belanda.

Siapa yang mewarisi bangunan observatorium sepeninggal suami istri Mohr tak jelas. Kemungkinan besar bangunan tersebut diambil alih VOC dan selanjutnya oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk dijadikan kantor dan barak tentara. Namun tanpa alasan jelas, bangunan itu dihancurkan pada 1809 meski sisa-sisa pondasinya masih bisa dijumpai hingga 1844. Setelah itu tiada kejelasan tentang status dan kepemilikan lahan tersebut, hingga sekarang. Rangkaian peristiwa ini menyisakan kekosongan (bangunan) observatorium di Indonesia hingga lebih dari seabad kemudian. Barulah pada 1923, sebuah observatorium baru lahir di Lembang (Bandung) yang dikenal sebagai Observatorium Bosscha dan menjadi satu-satunya observatorium langit malam di Indonesia hingga kini.

Tapak

Bangunan SD Katolik Ricci 1, yang semula dianggap sebagai tapak observatorium Mohr. Sumber : Sudibyo, 2012.

Sepintas cukup sulit melacak jejak tapak observatorium Mohr di tengah hiruk-pikuk Glodok masa kini, apalagi sejarah mencatat observatorium ini memang telah diruntuhkan pada 1809. Sejumlah pihak, termasuk penulis pada awal mulanya, berspekulasi tapak observatorium Mohr masa kini telah menjadi bagian dari lahan luas milik Yayasan Pendidikan Katolik Ricci (berupa gedung SD, SMP dan SMA Katolik Ricci) dan Gereja Katolik Santa Maria de Fatima. Lahan tersebut terletak di sebelah barat wihara Dharma Bhakti. Asumsinya, tapak observatorium itu, entah bagaimana kemudian beralih kepemilikannya ke gereja dan yayasan Katolik tersebut setelah sempat berada di pemerintah Hindia Belanda. Asumsi itu semula dianggap didukung lukisan situasi observatorium Mohr dan wihara Kim Tek I karya Johannes Rach, yang dibuat tahun 1770 dan memperlihatkan kedua bangunan itu berdampingan, dengan bangunan observatorium di sebelah kanan agak ke belakang dari kelenteng. Saat membuat lukisannya, Rach dianggap memandang kedua bangunan itu dari arah timur.

Kepadatan Jalan Kemenangan Raya masa kini. Panah sebelah kiri menunjukkan posisi wihara Dharma Bhakti, sementara panah sebelah kanan menunjukkan tapak observatorium Mohr. Arah pandang ke utara. Sumber : Sudibyo, 2012.

Namun tinjauan lapangan yang dipadukan dengan perbandingan antara lukisan Rach dan lukisan arsitektur observatorium dari J. Clement menyajikan hasil berbeda. Jika Clement benar dalam perspektifnya, maka bangunan observatorium Mohr memiliki panjang 22,5 meter, lebar 17,5 meter dan tinggi 30,5 meter. Bagian depan bangunan menghadap ke timur, sementara sisi utara observatorium juga digambarkan dengan jelas. Sisi bangunan yang saling berseberangan adalah simetris, sehingga sisi utara sama bentuknya dengan sisi selatan dan demikian pula sisi barat terhadap sisi timur. Membandingkan lukisan Clement dan Rach membuat kita bisa menyimpulkan kalau dalam menggambar lukisannya Rach berada di sisi utara atau selatan kedua bangunan tersebut, bukan di sisi timurnya.

Citra satelit yang menunjukkan posisi wihara Dharma Bhakti (1), SD Katolik Ricci 1 (2) dan kemungkinan tapak lokasi observatorium Mohr (M). a = jalan Kemenangan Raya, b = jalan Kemenangan 3, c = jalan Kemurnian 1 (gang torong) dan d = jalan Kemurnian 2. Sumber : Sudibyo, 2012 dengan citra Google Maps.

Tinjauan lapangan memperlihatkan wihara Dharma Bhakti adalah sekumpulan bangunan yang berdiri di sisi barat dan utara sebuah lapangan kecil. Akses ke lapangan ini (dan juga seluruh kompleks wihara) berasal dari pintu utama di sisi selatan (yang menghadap ke jalan Kemenangan 3) dan dua pintu tambahan dari sisi timur (menghadap ke jalan Kemenangan Raya). Jika kita menatap wihara dari arah pintu utama, maka akan terlihat seluruh kompleks wihara dalam konfigurasi hampir sama persis dengan yang dilukis Rach lebih dari 240 tahun silam. Sebab dengan menghadap ke utara dari arah pintu utama, di depan kita terhampar lapangan wihara dengan bangunan di sisi kiri dan bangunan utama di latar belakang. Dalam lukisan tersebut juga dapat diidentifikasi sebuah kelokan kecil yang sampai sekarang pun masih ada. Kelokan tersebut merupakan gambaran parsial untuk pertigaan jalan Kemenangan Raya dengan jalan Kemenangan 3.

Bangunan SD Katolik Ricci 1 yang bertingkat lima, nampak di latar belakang bangunan wihara Dharma Bhakti (dominasi warna merah dan kuning), dilihat dari sisi selatan tapak observatorium Mohr tepatnya pertigaan jalan Kemurnian 2 dengan jalan Kemenangan Raya. Sumber : Sudibyo, 2012.

Dengan demikian dapat disimpulkan, saat Johannes Rach melukis wihara Kim Tek I dan observatorium Mohr, ia menghadap ke utara pada titik yang terletak di sekitar pertigaan jalan Kemenangan Raya dengan Kemenangan 3 saat ini. Karena observatorium Mohr digambarkan berada di sebelah kanan wihara dan dipisahkan sepenggal jalan, maka jelas tapak observatorium Mohr di masa kini adalah berada di sebelah timur wihara Dharma Bhakti. Antara wihara dan tapak observatorium dipisahkan oleh sepenggal jalan Kemenangan Raya. Maka anggapan semula bahwa tapak observatorium Mohr terletak di dalam lahan Yayasan Pendidikan Ricci atau Gereja Katolik Santa Maria de Fatima pun gugur, sebab keduanya berada di sebelah barat wihara Dharma Bhakti.

Lorong jalan Kemurnian 2. Di ujung jalan inilah kemungkinan tapak observatorium Mohr berada. Nampak bangunan SD Katolik Ricci 1 yang bertingkat lima di latar belakang. Sumber : Sudibyo, 2012.

Lukisan Rach memperlihatkan observatorium Mohr sebagai bangunan enam lantai, dengan lantai pertama hanya terlukis separuh. Dengan ketinggian 30,5 meter, maka tinggi rata-rata tiap lantai adalah 5  meter. Cukup menarik bahwa batas antara lantai pertama dan kedua observatorium Mohr berada pada level yang relatif sama dengan puncak atap bangunan utama wihara Kim Tek I. Maka dengan menganggap tinggi puncak atap bangunan utama tersebut adalah 5 meter, tapak observatorium Mohr mungkin persis berdampingan dengan bangunan utama wihara dan hanya dipisahkan sepenggal jalan Kemenangan Raya di masa kini. Amat menarik bahwa di tempat tersebut kini terdapat sepetak lahan, persis di sisi timur jalan Kemenangan Raya, yang diapit oleh sepasang jalan kecil (gang), masing-masing jalan Kemurnian 2 di sisi selatan dan jalan Kemurnian 1 di sisi utara. Bila dimensi observatorium Mohr diplotkan ke dalam lahan yang kini menjadi milik perorangan tersebut, ternyata ukurannya pas.

Lorong jalan Kemurnian 1 (eks gang torong) masa kini, dilihat dari halte Transjakarta (kiri). Bandingkan kondisinya dengan 2,5 abad silam (kanan), yang masih sunyi dengan observatorium Mohr menjulang di latar belakang. Sumber : Sudibyo, 2012 dan Langitselatan, 2012.

Inikah tapak observatorium Mohr? Untuk memastikannya harus dilakukan penelitian lebih lanjut khususnya berbasis arkeologi. Dan ini tidaklah mudah, mengingat lahan tersebut sudah amat terbangun sebagai pemukiman padat, sehingga ekskavasi (penggalian) arkeologis jadi hampir mustahil. Ekskavasi diperlukan mengingat sebagai bangunan bertingkat 6, masih mungkin terdapat sisa-sisa dari pondasi observatorium tersebut, yang tertanam cukup dalam ke tanah. Meskipun di permukaan keberadaan pondasi itu terakhir dilaporkan pada tahun 1844 atau lebih dari 1,5 abad silam.

Sumber :

  • Zuidervaart & Gent, 2004.A Bare Outpost of Learned European Culture on the Edge of the Jungles of Java, Johan Maurits Mohr (1716-1775) and the Emergence of Instrumental and Institutional Science in Dutch Colonial Indonesia. Isis, 95 (2004), pp. 1-33.
  • Gent. 2005. Observations of the 1761 and 1769 Transits of Venus from Batavia (Dutch East Indies). in DW Kurtz, eds, Proceedings IAU Colloqium, 196 (2005), pp. 67-72.
  • Gunawan dkk. 2012. Kala Bintang Kejora Melintas Sang Surya, Transit Venus 2012. Buku elektronik. Yogyakarta : Kafe Astronomi.com Publisher.

Leave a Reply