Hari yang ditunggu-tunggu astronom sejagat pun akhirnya tiba. Jumat 29 November 2013 dinihari waktu Indonesia, atau Kamis menjelang malam 28 November 2013 waktu universal (GMT) menjadi saat-saat dimana komet ISON yang fenomenal bakal melintasi titik perihelionnya, yakni titik di dalam orbitnya yang berjarak terdekat terhadap Matahari. Dan berbeda dengan hampir segenap komet lainnya yang telah dikenal hingga saat ini, titik perihelion komet ISON amat sangat dekat terhadap Matahari, yakni ‘hanya’ sejarak 1,25 juta kilometer. Dengan demikian komet ISON bakal berada di dalam atmosfer Matahari saat menempati perihelionnya, khususnya lapisan atmosfer terluar yang dikenal sebagai korona. Inilah bagian atmosfer Matahari yang panas membara dengan suhu bisa mencapai 2 juta derajat Celcius atau jauh lebih tinggi dibanding ‘permukaan’ Matahari (lapisan fotosfera) yang ‘hanya’ sepanas 6.000 derajat Celcius. Secara akumulatif komet ini akan menghabiskan waktu belasan jam di lingkungan dengan suhu melebihi 3.000 derajat Celcius di sekitar Matahari.
Hampir seluruh komet yang telah kitab kenal menghabiskan sebagian hampir seluruh waktunya melata di tepian tata surya, kawasan yang dingin membekukan. Mereka amat terbiasa dengan suhu teramat dingin, yang membuat kandungan air dan gas-gas mudah menguap lainnya (seperti misalnya karbondioksida, karbonmonoksida, metana dan sianogen) berada dalam fase padat. Maka terbayang apa yang akan terjadi jika benda bersuhu amat dingin mendadak harus tercelup ke lingkungan demikian panas membara meski hanya dalam sekejap? Yang terjadi bukan hanya penguapan brutal yang besar-besaran saat es sontak berubah menjadi uap dan gas, namun juga bisa memicu melemahnya struktur inti komet. Ujung-ujungnya inti komet bisa tergerus (terdesintegrasi) hingga mengecil atau habis. Dan dalam kondisi sangat ekstrim bahkan bisa hancur berkeping-keping. Dengan diameter inti komet ISON yang relatif besar, yakni sekitar 4.000 meter, muncul pertanyaan bagaimana nasib komet ini saat tiba di perihelionnya? Seberapa besar ia tergerus? Akankah ia pecah berkeping-keping? Atau sebaliknya akankah ia bertahan melewati semua hadangan dalam kondisi sangat ektrim itu sekaligus meraih titel “komet abad ini” dengan benderang demikian terang hingga menyamai atau bahkan melebihi terangnya Bulan purnama?
ADS
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu baru diketahui semenjak Jumat 29 November 2013.
Satelit
Salah satu perbedaan besar dalam mengamati komet yang perihelionnya terlalu dekat ke Matahari pada masa kini dibanding masa silam adalah telah tersedianya armada satelit pengamat Matahari. Mereka bertugas memonitor sang surya dan lingkungannya secara tak terputus dalam 24 jam sehari. Armada itu beranggotakan satelit seperti STEREO (Solar and Terestrial Relation Observatory, yang terdiri dari sepasang satelit yakni STEREO A dan STEREO B) dan SOHO (Solar and Heliospheric Observatory) yang masing-masing menempati lokasi yang berbeda. Sehingga memberikan pandangan menyeluruh terhadap Matahari dan lingkungannya dari segenap penjuru pada saat bersamaan. Meski tak dirancang untuk mengobservasi komet saat berada di angkasa dekat Matahari, namun satelit-satelit tersebut dilengkapi koronagraf sehingga mampu mendeteksi komet yang melintas terlalu dekat ke Matahari dengan mudah.
Sesungguhnya komet ISON sudah mulai teramati oleh salah satu armada satelit ini semenjak 10 Oktober 2013 silam, yakni kala ia mulai memasuki medan pandang instrumen HI-1(Heliospheric Imager-1) satelit STEREO-A. Meski demikian saat itu komet sulit diidentifikasi karena masih cukup redup. Tetapi situasi berubah semenjak paruh kedua November 2013 kala komet secara dramatis bertambah terang, khususnya pasca terjadinya outburst (peningkatan kecemerlangan secara mendadak) pada 14 November 2013. Outburst ditimbulkan oleh merekahnya salah satu bagian permukaan inti komet ISON seiring tekanan angin Matahari yang kian meningkat karena komet kian mendekat ke Matahari. Retakan membuat cebakan (reservoir) es dan bekuan senyawa mudah menguap yang ada dibawahnya terbuka ke lingkungan, sehingga melipatgandakan jumlah uap air, gas dan debu yang tersembur dari inti komet. Inilah yang membuat komet ISON bertambah terang sekaligus menyajikan pemandangan langit nan spektakuler pada paruh kedua November 2013. Dalam situasi tersebut, komet ISON mulai memasuki medan pandang instrumen HI-2 satelit STEREO-A, yang resolusinya lebih baik ketimbang HI-1, semenjak 21 November dan terus bertahan hingga 28 November 2013.
Armada satelit pengamat Matahari mulai memainkan peranan pentingnya semenjak 23 November 2013, kala komet ISON secara alamiah sudah terlalu dekat dengan Matahari sehingga tak bisa lagi diamati teleskop-teleskop di Bumi. Secara berturut-turut komet ISON mulai memasuki medan pandang instrumen COR-2 (Coronagraph-2) satelit STEREO-B, LASCO C3 (Large Scale Coronagraph C3) satelit SOHO, COR-2 satelit STEREO-A dan LASCO C2 satelit SOHO, masing-masing pada 26, 27 dan 28 November 2013. Ketiganya secara rutin mengirimkan citra (foto) demi citra setiap 15-30 menit sekali, yang menyajikan panorama menakjubkan dan dinamika komet ISON selama menerobos atmosfer berapi Matahari.
Terang dan Redup
Awalnya komet ISON nampak stabil dan terus bertambah terang sepanjang rentang waktu 21 hingga 28 November 2013, hal yang memang seharusnya terjadi pada sebuah komet yang sedang bergerak mendekati Matahari. Kemudian komet ISON terlihat membentuk dua jenis ekor yang berbeda: ekor gas dan ekor debu. Sepanjang waktu itu pula komet ISON teramati bersama dengan komet lainnya yang lebih redup, yakni komet Encke yang periodik dan mendekati Matahari setiap 3,3 tahun sekali. Meski terlihat berdampingan, orbit kedua komet tersebut sejatinya tak saling berdekatan atau bahkan berpotongan. Mereka terlihat dalam berdekatan hanya karena diamati dari lokasi satelit STEREO-A. Tidak demikian halnya jika keduanya diamati dari Bumi.
Sepanjang 27 dan 28 November 2013 komet ISON nampak bertambah terang secara konsisten. Pada 27 November 2013 pukul 08:20 WIB, komet masih redup dengan magnitudo hanya +2,5. Namun berselang 12 jam kemudian komet telah bertambah terang 6 kali lipat. Dan komet terus saja benderang menjadi 25 (magnitudo semu -1) hingga 63 kali lipat (magnitudo semu -2), masing-masing dalam 20 dan 26 jam kemudian. Komet yang kian benderang memang seperti seharusnya terjadi pada saat sedang mendekati Matahari. Namun sesuatu yang tak biasa terjadi pada 28 November 2013 pukul 21:00 WIB, empat jam sebelum komet menjangkau titik perihelionnya. Secara perlahan namun pasti komet ISON mulai meredup.
Pasca melewati perihelionnya, pada Jumat pagi 29 November 2013 terdeteksi benda mirip komet yang gerakannya bersesuaian dengan orbit komet ISON dengan sepasang ekor yang seakan menyatu lebar menyerupai kipas. Benda ini ditengarai sebagai komet ISON atau setidaknya sisa-sisanya. Benda mirip komet ini sempat bertambah terang hingga 2 jam komet melintasi perihelionnya, sehingga sama terangnya dengan bintang Antares. Namun setelah itu sisa komet ISON terdeteksi mulai meredup dan kian meredup. Lebih dari itu, benda tersebut juga tak lagi memiliki titik pusat yang terang sebagai petunjuk adanya kepala komet (coma) seperti halnya komet-komet lainnya. Sehingga saat meninggalkan medan pandang satelit SOHO, sisa komet ISON sudah menjadi benda langit dengan magnitudo semu +8 saja.
Hancur
Apa yang sebenarnya terjadi pada komet ISON?
Analisis Zdenek Sekanina, astronom spesialis komet di Jet Propulsion Laboratory NASA, menunjukkan komet ISON memang menjumpai masalah saat sedang bergerak menuju perihelionnya. Kian membesarnya hembusan angin Matahari, apalagi pada Rabu pagi 27 November 2013 terjadi badai Matahari kelas M yang memberikan tekanan lebih besar, membuat struktur inti komet yang aslinya sudah cukup rapuh tak lagi sanggup bertahan. Badai Matahari tersebut berasal dari sisi jauh Matahari (yakni bagian wajah Matahari yang membelakangi Bumi kita) dan lintasannya memang tak langsung berpotongan dengan komet ISON, namun ada sebagian kecil materinya yang menghantam komet ini. Faktor lain yang turut berperan adalah suhu tinggi, yang memanggang komet demikian rupa sehingga es dan bekuan senyawa mudah menguapnya mengalami penguapan superbrutal. Kombinasi kedua faktor tersebut menyebabkan komet bertambah terang pascabadai, yang menjadi indikasi mulai terpecah-belahnya inti komet. Proses pemecah-belahan inti mencapai puncaknya pada Kamis 28 November 2013 pukul 13:00 WIB, atau 12 jam sebelum komet ISON mencapai perihelionnya. Dan dalam sembilan jam kemudian inti komet ISON sudah sepenuhnya terpecah-belah, sehingga produksi debu dan gas pun berhenti. Semenjak saat itu komet mulai meredup.
Saat sebuah komet hancur berkeping-keping, segenap kepingan tersebut masih tetap berada di orbit komet induknya semula. Dan mereka pun masih tetap bergerak laksana induknya semula. Dan karena sangat dekat dengan Matahari,tekanan angin Matahari dan tingginya suhu menyebabkan kepingan-kepingan yang tersisa itu terus tergerus hingga hancur. Proses penggerusan membutuhkan waktu tertentu, sehingga tak mengherankan bila sisa-sisa komet ISON masih terdeteksi hingga belasan jam kemudian. Indikasi proses penghancuran yang terus berlangsung nampak dari jejak ekor yang diperlihatkan sisa komet ISON. Ekor yang menjauhi Matahari merupakan jejak penghancuran, sementara ekor yang menuju ke arah timur merupakan sisa material yang terlepas saat komet belum mencapai perihelionnya.
Hancurnya komet ISON menjadi berita menyedihkan bagi manusia khususnya di belahan bumi utara, karena komet ini digadang-gadang bakal menjadi komet yang cukup terang setelah melewati perihelionnya. Namun peristiwa hancurnya sebuah komet sebenarnya bukan hal yang aneh. Tidak seperti planet, komet merupakan benda langit anggota tata surya yang berumur jauh lebih pendek dan hanya bisa bertahan selama kurun waktu 10 hingga 100 juta tahun saja di orbitnya sebelum kemudian mati atau lenyap.
Ada enam skenario yang menyebabkan sebuah komet mati atau pergi dari tata surya kita ini. Pertama, komet dihentakkan keluar dari tata surya untuk terbang menuju ruang antarbintang, seperti yang dialami oleh komet-komet dengan orbit parabola dan hiperbola. Kedua, komet hancur berkeping-keping menjadi debu antarplanet akibat bertabrakan dengan sesamanya. Ketiga, komet juga bisa hancur berkeping-keping akibat menumbuk planet/satelit alaminya atau Matahari. Jika tumbukan terjadi di Bumi, bencana mahadahsyat dalam skala tak terperi bisa terjadi akibat pelepasan energi kinetik dalam jumlah sangat besar. Keempat, komet pun dapat hancur berkeping-keping menjadi debu antarplanet akibat terjangan badai Matahari. Kelima, komet juga bisa hancur berkeping-keping setelah mengalami penguapan superbrutal akibat terlalu dekat/menerobos atmosfer Matahari. Dan yang keenam, komet dapat kehilangan seluruh materi gampang menguapnya (volatile) setelah mengedari Matahari dalam kurun waktu tertentu sehingga inti kometnya berubah jadi bongkahan mirip asteroid. Selanjutnya orbitnya pun dipaksa berubah menjadi mirip orbit asteroid tertentu akibat kombinasi pengaruh gravitasi Jupiter dan Saturnus. Diperkirakan 60 % populasi asteroid dekat Bumi merupakan inti komet purba yang telah mati akibat kehabisan materi gampang menguapnya. Dari skenario-skenario tersebut, jelas komet ISON mengalami
Jadi, komet ISON gagal menembus lapisan atmosfer berapi milik Matahari dalam perjalanannya. Namun sebelum ia tiada, komet ISON ternyata sempat menebarkan pesonanya, termasuk bagi Indonesia. Silahkan ikuti bagian ketiga dari tulisan ini.