Elenin, demikianlah nama komet yang lebih dari setengah tahun ini kerap diperbincangkan, beberapa dengan nada getir menggidikkan. Sebagian menganggap nama Elenin adalah akronim dari Extinction Level Event Nibiru Is Nigh alias Nibiru sang pembawa pemusnahan massal telah dekat. Bagi mereka, nama Elenin hanyalah bagian dari upaya pengaburan badan antariksa seperti NASA dari “kenyataan” bahwa benda langit tersebut adalah Nibiru, yang dihebohkan bakal membawa petaka global pada akhir 2012 kelak. Hadirnya komet Elenin juga menjadi “penyelamat” bagi kalangan yang kerap bergenit–genit dengan peramalan nasib dan masa depan. Sebab hadirnya komet Elenin meluputkan mereka dari jurang rasa malu tak terperi setelah Nibiru, yang sebelumnya selalu digadang–gadang berukuran sebesar Saturnus, segelap batubara dan muncul hanya sekali dalam 3.600 tahun, ternyata tak kunjung terdeteksi. Padahal model–model matematis memperlihatkan, dengan sifat–sifat tersebut seharusnya Nibiru saat ini sudah nongol di langit selatan selepas tengah malam dengan magnitudo semu +3, sehingga sangat mudah dideteksi oleh teleskop, bahkan mudah disaksikan pula lewat mata tanpa alat bantu apapun sepanjang langit setempat mendukung.
|
|
Faktanya, komet Elenin ternyata tidak demikian. Benda langit ini pertama kali teramati Leonid Elenin (Rusia) lewat teleskop robotik 45 cm yang terpasang di Mayhill, New Mexico (AS) pada 10 Desember 2010. Observasi konfirmasi oleh A. Novichonok dan A. Segeyev dari observatorium Majdanak (Uzbekistan) memastikan benda langit tersebut adalah komet baru, yang kemudian diberi kode C/2010 X1. Konvensi tatanama benda langit mengatur sebuah komet baru akan diberi nama sesuai dengan nama penemunya, sehingga komet ini pun selanjutnya menyandang nama komet Elenin. Jadi, Elenin itu adalah nama orang yang menemukannya, bukan sebuah akronim.
Observasi demi observasi menunjukkan orbit komet ini sangat lonjong hingga mendekati parabola dengan periode orbit sekitar satu juta tahun. Orbit komet memiliki inklinasi 1,8? terhadap ekliptika, dengan perihelion sejauh 0,48 SA (72 juta km) yang telah dicapainya pada 10 September 2011. Terhadap Bumi, komet Elenin akan berada paling dekat pada 16 Oktober 2011 mendatang namun dengan jarak pisah 0,23 AU (35 juta km). Jarak pisah ini hampir menyamai jarak Bumi–Venus atau 100 kali lipat lebih besar dibanding jarak Bumi–Bulan. Sehingga kemungkinan tumbukan dengan Bumi dapat ditepis. Observasi juga memperlihatkan inti komet ini berdiameter sekitar 4 km dengan magnitudo absolut 10,8. Dengan demikian inti komet Elenin tergolong kecil, sebab inti komet Halley saja (sebagai pembanding) memiliki diameter 20 km.
Pecah
Observasi komet Elenin sebenarnya berlangsung secara menerus sejak awal 2011 khususnya yang dilakukan sejumlah astronom amatir pada belahan Bumi utara. Namun komet Elenin mulai mendapat perhatian serius sejak Agustus, kala komet telah melintasi ekliptika sehingga hanya bisa disaksikan dari belahan Bumi selatan. Selain kecerlangan komet Elenin kian meningkat sehingga berpeluang diamati dengan binokuler atau bahkan mata tanpa alat bantu apapun, pada saat yang sama komet telah memasuki medan pandang satelit observasi Matahari seperti STEREO (Solar Terestrial Relation Observatory) dan SOHO (Solar and Heliospheric Observatory) sehingga memberikan peluang observasi landas Bumi.
Namun bencana pun terjadilah. Jika semula komet Elenin memperlihatkan kenaikan kecerlangan yang konsisten, dari semula memiliki magnitudo semu +9,5 pada 30 Juli menjadi + 9,0 pada 7 Agustus dan +8,1 pada 19 Agustus sehingga komet Elenin mudah dilihat dengan binokuler, secara mendadak komet meredup kembali pasca 20 Agustus sehingga magnitudo semunya di akhir Agustus telah anjlok ke angka +9,5. Citra komet yang diambil sebelum dan sesudah 20 Agustus memperlihatkan perubahan dramatis pada kepala komet (coma), menyerupai apa yang dialami komet C/1999 S4 LINEAR lebih dari satu dekade silam.
Apa yang terjadi? Analisis citra satelit STEREO memperlihatkan komet Elenin pada 20 Agustus 2011 dihantam telak oleh guyuran proton dan elektron yang dilepaskan Matahari dalam sebuah badai Matahari. Peristiwa badai Matahari melepaskan proton dan elektron yang sangat massif lewat lontaran massa korona–nya, dalam kuantitas ratusan hingga ribuan kali lebih besar dibanding hembusan angin Matahari (yang rata–rata 1,6 juta ton/detik). Akibatnya kala menghantam komet Elenin, tekanan yang ditimbulkannya sangat besar sehingga melebihi gaya ikat materi penyusun inti komet. Ini bisa diibaratkan seperti sebuah pesawat mainan dari kertas yang dihantam hujan badai. Sehingga inti komet pun pecah berantakan.
Konfirmasi awal terpecahnya komet Elenin datang dari teleskop radio Green Bank (AS), yang melaporkan kecepatan emisi gas dari inti komet hanya sebesar 10 juta molekul/detik atau 100 kali lebih rendah dari seharusnya. Akibat peristiwa ini maka komet Elenin pun tak terdeteksi dalam citra satelit SOHO khususnya pada instrumen koronagraf LASCO C2 dan C3 meski komet telah memasuki medan pandangnya pada 23–29 September 2011.
Apa yang dialami komet Elenin sebenarnya sudah diprediksi. Persamaan J . Bortle (Hbatas = 7 + 6q) menunjukkan jika magnitudo absolut komet melebihi Hbatas, maka ia akan terpecah–belah dalam perjalanannya menyusuri perihelionnya. Dalam kasus komet Elenin, dengan perihelion (q) 0,48 SA maka nilai Hbatas adalah 9,9 sementara magnitudo absolutnya sedikit lebih tinggi yakni 10,8. Inilah yang membuat sejumlah astronom sejak awal meramalkan bahwa komet Elenin bakal terpecah–belah.
Peristiwa yang dialami komet Elenin tergolong pemecahan non–tidal, yakni terpecahnya sebuah benda langit (khususnya komet) yang tidak disebabkan oleh gaya tidal Matahari maupun planet–planet, melainkan akibat sifat intrinsiknya dan pengaruh dinamika aktivitas Matahari. Selain pemecahan non–tidal, dikenal pula adanya pemecahan–tidal yakni pemecahan akibat terlalu dekatnya sebuah benda langit terhadap Matahari maupun planet–planet sehingga memasuki kawasan terlarang Roche, dengan akibat selisih gaya tidal antara sisi dekat dan sisi jauhnya mampu melampaui gaya ikat materi penyusunnya benda langit akan terpecah–belah. Baik pemecahan non–tidal maupun tidal merupakan salah satu faktor yang berkontribusi merubah karakteristik komet secara dramatis.
Gelap
Pemecahan merupakan kejadian yang kerap dialami komet. Contoh terpopuler adalah komet Shoemaker–Levy 9, yang pada Juli 1992 berantakan menjadi 21 keping oleh pemecahan tidal oleh planet Jupiter. Dalam dua tahun kemudian pecahan demi pecahan tersebut jatuh menghantam hemisfer selatan planet gas raksasa ini, menciptakan panorama tumbukan benda langit yang pertama kali disaksikan manusia setelah selama ini hanya ada dalam buku–buku teks. Contoh populer lainnya misalnya komet Biela, yang pecah menjadi dua bagian saat mendekati perihelionnya pada 1846. Setelah sempat muncul kembali berselang enam tahun kemudian, komet Biela tak pernah teramati lagi hingga kini. Namun sebagai gantinya muncul hujan meteor Andromedids dimana karakteristik orbitnya amat mirip dengan orbit komet yang lenyap tersebut.
Dengan orbit yang sama sekali tak berpotongan dengan orbit Bumi, tak perlu mengkhawatirkan pecahan–pecahan komet Elenin akan menumbuk Bumi. Namun bagaimana nasib komet ini selanjutnya memang masih gelap, apakah ada bagian besar yang masih bertahan dan memperlihatkan sifat–sifat komet, ataukah semuanya telah remuk menjadi debu dan bongkahan–bongkahan kecil yang kehilangan pesona kometnya. Yang jelas, pada 16 Oktober 2011 mendatang, langit takkan lagi dihiasi sebentuk bintang berekor cemerlang dengan magnitudo semu +7 yang mudah disaksikan melalui binokuler. Sebab pasca pemecahan non–tidal, komet Elenin diprediksikan hanya akan memiliki magnitudo semu antara +11 hingga +12, alias 40 hingga 100 kali lebih redup dibanding prediksi semula. Itupun dengan catatan komet tidak remuk.