Sebuah kawah meteor yang baru telah terbentuk di permukaan Bulan pada 17 Maret 2013 lalu. Kawah meteor tersebut mampu ‘menelan’ sepasang rumah tipe 36 dengan mudah. Namun siapa sangka, kawah sebesar ini ternyata terbentuk oleh hantaman meteoroid yang dimensinya tak lebih besar dari roda sepeda motor kita?
Rob Suggs mendadak terlonjak dari kursinya saat seberkas cahaya terang benderang mendadak muncul di layar monitor di meja kerjanya di NASA Marshall Flight Space Center, Alabama (AS) pada Sabtu 16 Maret 2013 pukul 09:50 waktu setempat (atau Minggu 17 Maret 2013 pukul 10:50 WIB). Sebagai sosok di balik program Lunar Impact Monitoring yang bertugas memantau peristiwa tumbukan meteoroid di permukaan Bulan semenjak 2005, Suggs sejatinya tak asing dengan kilatan cahaya sejenis. Tapi, “itulah kilatan cahaya paling terang yang pernah saya saksikan,” kenangnya.
|
|
Kilatan cahaya itu mengerjap dari sisi dekat Bulan yang masih gulita karena berada di luar area sabit Bulan. Pada saat itu Bulan memiliki fase hanya 27 % sehingga masih berbentuk sabit (catatan: saat fase Bulan 50 %, maka ia berbentuk separuh lingkaran sementara saat fasenya maksimum maka wajah Bulan berupa lingkaran utuh sebagai purnama). Kilatan cahaya yang terbentuk saat meteoroid menghantam Bulan itu demikian terang, setara terangnya dengan bintang bermagnitudo semu +4, sehingga siapapun yang menatap Bulan pada saat itu akan mampu melihatnya bahkan meski tidak menggunakan alat bantu optik apapun, sepanjang berada di lingkungan yang cukup gelap. Dalam catatan Suggs, inilah kilatan cahaya tumbukan meteor terterang yang pernah teramati program Lunar Impact Monitoring, program pemantauan NASA yang bersenjatakan teleskop 355 mm dengan panjang fokus efektif 94 cm. Pada umumnya kilatan produk tumbukan meteoroid di Bulan hanya memiliki magnitudo semu +7 sehingga cukup gelap untuk bisa disaksikan oleh mata manusia bila tak menggunakan alat bantu optik apapun.
Perbandingan antara rekaman video yang memuat detik-detik terjadinya kilatan cahaya benderang tersebut dengan peta Bulan memastikan bahwa posisi tumbukan meteoroid ada di sisi selatan Mare Imbrium, tepatnya di dekat kawah Pytheas. Berselang 4 bulan kemudian, satelit LRO (Lunar Reconaissance Orbiter) memastikan keberadaan jejak dari tumbukan tersebut. Mata tajam kamera LRO, yang dirancang untuk bisa menjejak obyek di permukaan Bulan dengan resolusi sangat tinggi hingga sebesar 35 cm per piksel, mendeteksi kehadiran sebentuk kawah baru yang sebelumnya tak pernah ada. Kawah baru tersebut terletak di koordinat 20,6 LU 23,9 BB di permukaan Bulan. Kamera LRO memperlihatkan kawah baru tersebut sebagai kawah kecil dengan garis tengah 18 meter yang berhiaskan tumpukan material segar sebagai produk tumbukan yang terlontar kesekelilingnya. Material tersebut tidak tersebar secara merata di sekeliling kawah melainkan lebih dominan ke arah timur laut, yang menandakan bahwa meteoroid pembentuknya datang dari arah barat daya. Namun butuh waktu hingga 9 bulan pasca tumbukan sebelum hasil-hasil bidikan satelit LRO dipublikasikan, yakni melalui momen pertemuan Perhimpunan Geofisika Amerika Serikat (AGU/American Gephysical Union) pada Desember 2013 lalu.
Analisis
Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan kejadian tumbukan meteor di Bulan itu, kamera pemantau NASA di program Meteoroid Environment juga mendeteksi adanya 5 meteoroid tak biasa yang memasuki atmosfer Bumi sebagai meteor-terang (fireball). Selain NASA, fireball yang sama juga terekam kamera pemantau University of Western Ontario. Analisis menunjukkan bahwa semua fireball itu merupakan bagian hujan meteor eta Virginids, yakni jenis hujan meteor periodik yang berlangsung semenjak 24 Februari hingga 27 Maret setiap tahun. Puncak hujan meteor ini terjadi pada 18 Maret dengan intensitas sangat kecil, hanya 1 sampai 2 meteor per jam. Meteoroid-meteoroid eta Virginids berasal dari sisa-sisa komet tak dikenal yang nampaknya sempat teramati pada 30 September 1833 dan 16 hari kemudian. Meteoroid-meteoroid tersebut mengorbit Matahari dalam lintasannya masing-masing yang berbentuk lonjong serta merentang di antara orbit Venus dan Jupiter. Meteoroid eta Virginids memasuki atmosfer Bumi pada kecepatan yang cukup tinggi untuk ukuran manusia, yakni 25,5 km/detik (92.000 km/jam). Namun untuk ukuran meteoroid yang berasal dari sisa komet, kecepatan eta Virginids masih tergolong rendah. Waktu kejadian yang hampir bersamaan mengindikasikan bahwa meteor yang membentuk kawah di Bulan pada 17 Maret 2013 itu pun merupakan meteoroid eta Virginids.
Pada saat kejadian, sumber hujan meteor Virginids terletak pada altitud 70 derajat di arah barat daya jika ditinjau dari titik targetnya di Bulan. Dengan memanfaatkan data ini dan kecepatan meteoroid, maka perhitungan yang penulis lakukan dengan menggunakan persamaan-persamaan matematis dari Collins (2005) yang dimodifikasi memperlihatkan kawah meteor baru yang bergaris tengah 18 meter di Bulan itu bisa dibentuk oleh sebongkah meteoroid dengan diameter ‘hanya’ 40 cm dan massa ‘hanya’ 40 kg. Dengan demikian dimensi meteoroidnya tak lebih besar ketimbang roda sepeda motor yang biasa kita naiki di Bumi. Analisis lebih lanjut memperlihatkan saat meteoroid tersebut menghantam titik targetnya, terjadi pelepasan energi kinetik sebesar 13 GigaJoule atau 3 ton TNT. Dengan demikian energi tumbukan ini setara dengan ledakan dari 3.000 kg batang dinamit. Pelepasan energi ini menyebabkan suhu titik target melonjak hingga sekitar 10.000 derajat Celcius sembari menghamburkan lebih dari 550 meter kubik batuan dan pasir Bulan sebagai materi produk tumbukan (ejecta) dengan massa lebih dari 830 ton. Karena meteoroid datang dari arah barat daya, maka mayoritas ejecta-nya terlempar ke arah berseberangan yakni timur laut.
Resiko bagi Manusia di Bulan
Bagaimana jika meteoroid 40 cm itu jatuh ke Bumi? Simulasi menunjukkan jika hal itu terjadi, maka meteoroid itu takkan menimbulkan masalah berarti. Saat meteoroid memasuki atmosfer Bumi, ia berubah menjadi fireball yang memijar terang hingga mencapai puncak kecerlangannya pada ketinggian sekitar 85 km dari permukaan laut dengan magnitudo semu -6,5 atau 6 kali lipat lebih benderang dibanding Venus. Namun dalam beberapa detik kemudian, tepatnya kala fireball telah memasuki ketinggian 75 km dari permukaan laut, ia akan lenyap karena materi penyusunnya telah tergerus habis dan menguap oleh kombinasi tekanan dan panas sangat tinggi. Dengan kata lain, selimut udara yang menyelubungi Bumi menjadi berkah yang membuat meteoroid tak sanggup mencapai permukaan Bumi. Berkah ini yang tak dimiliki oleh Bulan.
Bulan memang sudah kita eksplorasi semenjak fajar abad antariksa menyingsing lebih dari setengah abad silam. 12 orang bahkan telah menapakkan kakinya di Bulan melalui program Apollo, yang berakhir lebih dari empat dasawarsa silam. Namun hingga kini tak satupun yang tahu seberapa banyak meteoroid yang berjatuhan ke Bulan dalam setiap harinya. Padahal Bulan jauh lebih rentan terhadap ancaman tumbukan benda langit (meteor) bahkan untuk dimensi yang kecil sekalipun seiring tiadanya selubung udara yang tebal dan signifikan di sana.
Kejadian 17 Maret 2013 menjadi contoh telanjang bagaimana meteoroid yang tergolong kecil mampu berdampak signifikan (untuk ukuran manusia) di Bulan, dimana meteoroid seukuran ‘hanya’ 40 cm saja mampu membentuk kawah selebar 18 meter. Padahal diameter wahana-wahana antariksa yang dikirimkan manusia ke Bulan, termasuk modul bulan yang digunakan sebagai wahana pendarat manusia dalam program Apollo, tak sampai lebih dari 8 meter. Maka sebutir meteoroid kecil yang menghantam Bulan adalah mimpi buruk bagi manusia terutama pada momen pendaratan manusia dan kolonisasi (penghunian) Bulan kelak. Pendaratan manusia dalam program Apollo di masa silam boleh dikata beruntung melewati momen-momen mengerikan hantaman meteor di Bulan karena bernasib mujur.
Collins dkk. 2005. Earth Impact Effects Program : A Web–based Computer Program for Calculating the Regional Environmental Consequences of a Meteoroid Impact on Earth. Meteoritics & Planetary Science 40, no. 6 (2005), 817–840.