27 Desember 43 tahun silam, sebuah sejarah baru tercipta saat manusia mencatatkan diri lepas dari kungkungan gravitasi Bumi dan terbang mengelilingi Bulan untuk pertama kalinya. Itu dilakoni oleh James Lovell, Frank Borman dan William Anders, tiga astronot dalam misi Apollo 8. Meluncur dari landasan peluncuran 39 A di Kennedy Space Center, Tanjung Canaveral, Florida (AS) pada 21 Desember untuk misi antariksa yang bertujuan menguji coba proses lepas dari gravitasi Bumi, terbang ke Bulan dan kembali lagi ke Bumi dengan selamat, mereka butuh enam hari untuk merampungkannya.
Borman terkena mabuk antariksa di sepanjang perjalanan. Ia muntah-muntah dan diare, sampai-sampai interior Apollo 8 terkotori karenanya. Namun selain itu tidak ada gangguan berarti. Pendaratan 27 Desember 1968 itu demikian fenomenal sehingga Lovell, Borman dan Anders lantas digelari Man of The Year oleh majalah TIME. Dengan rangkaian pembunuhan politis di AS, ketegangan menyusul aksi jalanan penuh kekerasan di AS dan Eropa, berkecamuknya Perang Vietnam serta invasi Uni Soviet ke Cekoslowakia dalam insiden Musim Semi di Praha membuat 1968 seakan hendak berlalu dengan suram. Sehingga bagi TIME Apollo 8 menerbitkan harapan di tengah kesuraman tersebut, karena mendemonstrasikan terbang ke Bulan dengan selamat adalah mungkin. Apollo 8 sekaligus menjadi batu pijakan pertama bagi pendaratan manusia di Bulan dalam setengah tahun berikutnya.
|
|
43 tahun kemudian, Apollo kembali bergema, namun kali ini hanya di layar perak. Pada 2 September 2011 sutradara Gonzalo Lopez-Gallego serta produser Timur Bekmambetov dan Ron Schmidt melansir film “Apollo 18” di AS, Canada dan Inggris. Tawaran mereka sungguh menjanjikan di awal mula. Inilah film yang berkisah misi Apollo ke Bulan yang dirahasiakan dengan temuan-temuan mengejutkan yang membuat manusia tak pernah lagi mencoba mendarat di Bulan. Inilah film yang membuktikan keberadaan kehidupan cerdas luar Bumi (ekstraterestrial), yang bahkan hidup di lingkungan sekeras Bulan. Inilah film yang sejak awal menyatakan diri bukan produk imajinasi fiksi, namun benar-benar dikutip dari serangkaian rekaman video NASA dalam sejumlah misi pendaratan manusia di Bulan.
Namun ibarat pungguk merindukan Jupiter, apa yang dijanjikan jauh dari senyatanya. Kita takkan menemukan aksi menawan a la Ed Harris maupun jalinan ketegangan nan menekan nafas seperti dilakoni kuartet Tom Hanks, Bill Paxton, Gary Sinise dan Kevin Bacon dalam “Apollo 13”. “Apollo 18” bukanlah film berkelas Oscar seperti halnya “Apollo 13”, meski “Apollo 18” dirilis 16 tahun setelah pendahulunya, pada era dimana teknologi visual digital menjanjikan mampu menciptakan imajinasi apa saja yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Alur yang dicoba dibangun justru datar dan membosankan. Tak heran bila film ini dihujani kritikan pedas. Rotten Tomatoes misalnya, hanya memberikan nilai 23 %, sementara Metacritic menilai film ini hanya 24 dalam rentang skor antara 0 hingga 100. Secara umum film ini dikategorikan “tidak difavoritkan ditonton.” Meski secara finansial film ini dapat dianggap sukses. Dengan biaya pembuatan US $ 5 juta, dalam dua minggu pertama pasca peluncurannya “Apollo 18” telah memberikan pemasukan hingga US $ 24 juta.
Alasan 1 : Tiada Getaran Peluncuran
Walaupun diklaim berbasis rekaman NASA, namun ada banyak hal yang membuat “Apollo 18” patut diragukan. Dengan mengacu dokumen misi-misi Apollo lainnya, termasuk Apollo 8, kita mencatat ada sedikitnya empat hal meragukan. Yang pertama, terkait peluncuran. Film ini menyebutkan Apollo 18 diluncurkan pada suatu malam di bulan Desember 1974. Pada saat itu (pun hingga kini), misi antariksa berawak ke Bulan hanya bisa terselenggara seiring diciptakannya roket Saturnus 5. Ini adalah roket kolossal : ukuran dan kemampuannya sungguh luar biasa, bahkan untuk era sekarang.
Sebuah roket Saturnus 5 pada dasarnya adalah roket tiga tingkat dengan tinggi 102 meter alias hampir menyamai tinggi Monas, diameter 10 meter dan bobot totalnya 3.038 ton alias setara bobot 12 pesawat jumbo jet Boeing 747. Sebagai gambaran, tingkat pertama roket kolossal ini saja, yang dinamakan tingkat S-1C dan mencakup 75 % bobot total roket, masih lebih berat ketimbang pesawat ulang-alik dengan seluruh kelengkapannya (roket pendorong dan tanki bahan bakar). Untuk membuat bobot yang luar biasa ini lepas landas dari permukaan Bumi, lima mesin roket F-1 yang amat besar menyediakan daya dorong teramat kuat yakni sebesar 3.877 ton.
Disinilah masalahnya. Sebagian energi yang dilepaskan mesin roket F-1 dikonversi menjadi energi akustik. Sebanyak 0,01 hingga 0,1 % energi akustik kemudian ditransfer menjadi energi seismik khususnya dalam bentuk gelombang Rayleigh alias gelombang panjang yang merambat di kerak Bumi. Sehingga peluncuran misi antariksa berawak ke Bulan selalu diiringi dengan getaran gempa bumi artifisial dengan episentrum tepat di landasan peluncuran Kennedy Space Centre. Getaran tersebut begitu kuatnya sehingga bisa dideteksi instrumen seismograf di segenap penjuru benua Amerika. Ini membuat peluncuran roket Saturnus 5 tak bisa disembunyikan, meskipun roket diluncurkan di malam hari sekalipun. Getaran tersebut sekaligus menyajikan konfirmasi aktivitas peluncuran misi berawak ke Bulan melalui sumber yang bebas dari hegemoni kepentingan NASA pada khususnya maupun Amerika Serikat pada umumnya.
Catatan memperlihatkan getaran gempa dengan pola khas peluncuran roket Saturnus 5 terakhir kali terjadi pada 14 Mei 1973 seiring peluncuran laboratorium antariksa Skylab. Getaran yang sama sebelumnya tercatat pada 6 Desember 1972 bersamaan dengan peluncuran misi Apollo 17, misi antariksa berawak terakhir ke Bulan. Sejak 1973 tak ada lagi getaran akibat peluncuran roket raksasa sekelas Saturnus 5. Perkecualian pada 15 Juli 1975 saat roket Saturnus 1B yang lebih ringan dan hanya sanggup membawa muatan ke orbit rendah Bumi, diluncurkan dalam misi persahabatan ASTP (Apollo Soyuz Test Program). Ini adalah misi dimana wahana antariksa Apollo dari Amerika Serikat dan Soyuz dari Uni Soviet yang menjadi kompetitornya bergandengan di angkasa selama beberapa waktu. Dengan fakta demikian, jelas tak ada peluncuran roket Saturnus 5 pada Desember 1974.
Alasan 2 : Tiada Trans Lunar Injection
Yang kedua, tiada teramatinya fase trans lunar injection (TLI). Sepanjang peluncurannya, tingkat pertama (yakni tingkat S-1C) dan tingkat kedua (yakni tingkat S-2) Saturnus 5 terlepas secara bertahap, yang memungkinkan tingkat terakhir (yakni tingkat ketiga atau tingkat S-4B) beserta wahana Apollo diujungnya kian cepat melaju. Setiap misi Apollo selalu menempuh rute serupa, yakni terlebih dahulu mengorbit Bumi selama 1,5 hingga 2,1 kali putaran dalam orbit parkir setinggi 165 hingga 190 km dari permukaan Bumi dengan inklinasi orbit 32 hingga 33 derajat pada kecepatan 7,7 km/detik. Ini memungkinkan para astronot Apollo mengecek normal tidaknya semua sistem Apollo sehingga jadi tidaknya terbang ke Bulan dapat diputuskan. Bila salah satu sistem saja ditemukan tak normal, penerbangan ke Bulan bakal dibatalkan.
Jika seluruh sistem Apollo dinyatakan normal, penerbangan ke Bulan segera terlaksana diawali dengan tahap TLI, yakni penyalaan roket tingkat tiga Apollo selama 6 menit lebih guna mempercepat pesawat dari kecepatan 7,7 km/detik menjadi 10,8 km/detik. Ini terjadi dalam 2 jam 50 menit hingga 3 jam 12 menit pasca peluncuran dan umumnya berlangsung saat Apollo melintasi Samudera Pasifik. Agar TLI dapat terjadi, mesin roket J-2 yang menempel di pantat tingkat S-4B Saturnus 5 harus memiliki daya dorong cukup besar, yakni sebesar 104,3 ton. Daya dorong yang besar diiringi konsumsi bahan bakar (berupa Hidrogen cair dan Oksigen cair) cukup banyak sehingga produk reaksinya (yakni air dalam bentuk uap) pun sangat berlimpah. Sinar Matahari yang mengenai butir-butir air ini akan dipantulkan demikian rupa sehingga bisa dilihat dari Bumi menyerupai bentuk komet namun dengan ekor sangat lebar dan demikian terang sehingga mudah dilihat mata tanpa menggunakan binokuler maupun teleskop.
Dalam peluncuran Apollo 8, tahap TLI-nya terlihat amat menakjubkan di langit Hawaii dan sekitarnya. Pun demikian dengan misi Apollo lainnya, sehingga menjadi salah satu ciri khas misi penerbangan berawak ke Bulan. Bagaimana dengan situasi pada suatu waktu di bulan Desember 1974? Ternyata fenomena mirip TLI tidak pernah dijumpai ! Jelas bahwa tiadanya fenomena mirip TLI menandakan tidak ada mesin roket sekuat J-2 yang beroperasi di atas sana, sehingga menggugurkan klaim peluncuran Apollo 18.
Alasan 3 : Tiada Fuel Dump
Yang ketiga, tiada teramatinya fase fuel dump (pembuangan bahan bakar). Pada penerbangan Apollo, setelah fase TLI usai, maka tingkat S-4B Saturnus 5 tidak diperlukan lagi sehingga harus dilepas dari pesawat Apollo. Pelepasan ini dilakukan bersamaan dengan manuver Apollo untuk menggandeng modul Bulan sekaligus menariknya keluar dari lokasi penyimpanannya dengan menyalakan sejumlah mesin roket kecilnya, yang memungkinkan Apollo beserta modul Bulan sedikit menjauh dari tingkat S-4B. Pada fase ini tingkat S-4B sebenarnya sudah menjadi sampah antariksa sehingga untuk mengurangi resiko di kemudian hari, bahan bakar yang tersisa harus dibuang ke angkasa sekitarnya dalam fase fuel dump.
Baik Hidrogen cair maupun Oksigen cair dibuang secara bersamaan, namun ke arah yang saling bertolak belakang. Pantulan sinar Matahari menyebabkan butir-butir uap Hidrogen dan Oksigen dapat terlihat dengan jelas dari Bumi. Bahkan pemandangannya cukup spektakuler dan mudah disaksikan tanpa harus melalui teleskop atau binokuler. Pada saat itu bakal terlihat bulatan cahaya cukup besar di langit, dengan diameter sudut hingga 5 derajat atau 10 kali lebih besar dibanding diameter sudut Bulan. Dengan ukuran cukup besar, jelas fase fuel dump bakal menjadi pemandangan teramat langka yang menarik perhatian.
Dalam misi Apollo 8, fase fuel dump-nya demikian spektakuler sehingga tak hanya menarik perhatian astronom (baik profesional maupun amatir), tapi juga khalayak umum. Hal ini karena fase fuel dump Apollo 8 dapat diamati dari separuh belahan Bumi yang kebetulan berhadapan dengannya, yang pada saat itu adalah benua Amerika dan Eropa. Dalam fase fuel dump misi-misi Apollo berikutnya pun demikian, sehingga juga menjadi salah satu ciri khas misi penerbangan berawak ke Bulan. Bagaimana dengan situasi pada suatu malam di bulan Desember 1974? Ternyata fenomena mirip fuel dump tidak dijumpai ! Ini jelas menandakan bahwa pada saat itu memang tidak ada tingkat S-4B Saturnus 5 yang sedang membuang bahan bakarnya. Sehingga menambah fakta gugurnya klaim adanya misi Apollo 18.
Alasan 4 : Apa dan Darimana Roketnya ?
Dan yang keempat, terbatasnya jumlah roket Saturnus 5. Sepanjang penerbangan antariksa berawak ke Bulan, NASA hanya memproduksi 15 roket Saturnus 5 dalam periode 1964 hingga 1968 dengan melibatkan tiga raksasa industri penerbangan saat itu: Boeing, McDonnel Douglas dan North American Aviation. Setiap roket Saturnus menelan biaya US $ 135 juta, terhitung amat mahal bahkan untuk ukuran dekade 1960-an. Karena saat itu pun memproduksi sebuah bom nuklir ‘hanya’ menghabiskan US $ 5 juta. Ongkos produksi seluruh roket Saturnus 5 memakan porsi 10 % lebih anggaran pendaratan manusia di Bulan dan pada puncaknya setara dengan 1 % produk nasional kotor Amerika Serikat. Setiap roket Saturnus 5 membutuhkan waktu 42 bulan untuk diproduksi dan ditest sebelum siap digunakan.
Dari kelima belas roket Saturnus 5 yang diproduksi, dua digunakan untuk misi tak berawak (Apollo 4 dan 6), satu untuk misi berawak ke orbit Bumi (Apollo 9), dua untuk misi berawak tanpa mendarat ke Bulan (Apollo 8 dan 10), enam untuk misi pendaratan di Bulan (Apollo 11, 12, 14, 15, 16 dan 17), satu untuk misi pendaratan yang gagal (Apollo 13) dan satu lagi untuk misi laboratorium antariksa (Skylab 1). Sedangkan dua lainnya tak pernah mengangkasa seiring pemotongan anggaran besar-besaran yng dialami NASA bahkan sejak Apollo 8 belum mengangkasa. Kini dua roket Saturnus 5 yang tersisa itu dipamerkan secara terpisah di Kennedy Space Center (tingkat S-2 dan S-4B), Johnson Space Center (tingkat S-1C dan S-2), fasilitas produksi Boeing di New Orleans (tingkat S-1C) dan Museum Smithsonian di Washington (tingkat S-4B).
Dengan seluruh roket Saturnus 5 yang diproduksi dapat dilacak jejaknya, lantas darimana asal roket yang digunakan untuk meluncurkan misi Apollo 18? Apalagi roket yang memungkinkan hanyalah roket Saturnus 5, yang nyaris tak mungkin disembunyikan dari pandangan publik mengingat ukurannya, besarnya biaya produksi dan lamanya masa produksi. Bagaimana dengan roket lain? Tidak mungkin. Roket-roket lain yang telah operasional pada sat itu hanya mampu membawa muatan ke orbit Bumi saja. Kecuali roket N-1 milik Uni Soviet, yang dirancang sebagai kompetitor roket Saturnus 5 guna mendarat di Bulan. Namun roket N-1 tidak pernah berhasil mengangkasa. Empat percobaan peluncurannya selalu gagal, bahkan salah satu diantaranya berakhir sebagai ledakan non-nuklir terbesar sepanjang sejarah yang meremukkan landasan peluncuran dan fasilitas pendukungnya. Jadi tidak tersedia roket untuk meluncurkan Apollo 18 dan ini menjadi salah satu fakta yang menggugurkan klaim adanya penerbangan Apollo 18.
Epilog
Jadi, pada titik yang paling mendasar, yakni bagaimana Apollo 18 mengangkasa dari Bumi agar bisa terbang ke Bulan, ternyata dijumpai sedikitnya empat alasan yang membuat klaim penerbangan Apollo 18 gugur berantakan. Bila Apollo 18 tidak pernah mengangkasa, maka seluruh episode pendaratan dan dramatisasi di Bulan seperti digambarkan film “Apollo 18” jelas mustahil.
Film tersebut barangkali mencoba meneguhkan klaim penyokong teori konspirasi pendaratan manusia di Bulan yang selama ini sudah beredar. Namun sayangnya, seperti para pendahulunya, “Apollo 18” hanya menyajikan rangkaian dramatisasi tanpa mempedulikan aspek dan fakta ilmiah dalam penerbangan antariksa khususnya terkait penerbangan antariksa berawak ke Bulan.
pembahasan yg keren…dan sangat perlu pembahasan2 sejenis ini, kadang org kebanyakan lebih percaya “fenomena film” drpd sisi ilmiah sesungguhnya
om dampak negatif peluncuran rokeat’a apa aja?
AMDAL’a ada ga?