Lebih dari 14 abad silam, tepatnya sekitar 55 hingga 52 hari sebelum Maulid Nabi Muhammad SAW, terjadi peristiwa yang menggemparkan penduduk Jazirah Arabia hingga ke segenap sudutnya. Inilah saat pasukan yang berkekuatan sangat besar untuk ukuran zamannya, yang berkekuatan 60.000 prajurit infanteri dan 15.000 prajurit kavaleri dibawah pimpinan langsung panglima Abrahah al-Asyram (gubernur pendudukan imperium Aksumit di Yaman) mendadak berantakan di halaman kota suci Makkah sebelum sempat meraih tujuannya. Pasukan besar ini membawa serta 15 ekor gajah sebagai simbol, hewan tunggangan yang belum pernah dilihat bangsa Arab. Maka pasukan itu pun lebih populer sebagai pasukan Gajah.
Kehancuran pasukan Gajah membuyarkan rencana invasi jantung Arabia Deserta yang didasari motif religius bercampur politis-ekonomis. Yakni menghancurkan Ka’bah yang menjadi episentrum spiritual bangsa Arab. Sehingga diharapkan mereka akan terdemoralisasi dan selanjutnya terlemahkan, yang pada gilirannya bakal memuluskan jalan pendudukan Arabia Deserta dan sekitarnya. Pada akhirnya jalur perdagangan yang membentang di pesisir timur Laut Merah mulai dari Arabia Petraea (Syria dan sekitarnya) di utara, Arabia Deserta (Makkah dan sekitarnya) di tengah hingga Arabia Felix (Yaman dan sekitarnya) di selatan dapat dibulatkan sepenuhnya di bawah penguasaan imperium Aksumit dan Romawi yang saling berkoalisi.
Sebelum kehancuran itu manuver pasukan Gajah seakan tak tertahankan meski sebagian bangsa Arab, yang terpecah-belah dalam sejumlah suku kecil dan kadang saling bermusuhan, mencoba melakukan perlawanan sporadis dan kecil-kecilan. Semuanya berhasil ditangkis sehingga mereka pun memasuki tapalbatas kotasuci Makkah, lalu bersiaga di lembah al-Mughammas sembari mengintimidasi penduduk Makkah. Didahului insiden perampasan ternak Abdul Muththalib, pemimpin kotasuci Makkah saat itu, maka pasukan berkekuatan besar ini pun bermanuver mewujudkan rencananya. Namun setibanya di lembah Wadi Muhassir (Wadi an-Nar), yang terletak di antara Muzdalifah dan Mina sekarang atau hanya berjarak 6 km di sebelah tenggara pusat kotasuci Makkah, pasukan ini mendadak hancur berantakan oleh peristiwa yang dalam kitab suci al-Qur’an diabadikan dalam surat al-Fiil (Gajah). Pasukan besar tersebut dihancurkan oleh guyuran batu panas (sijjil) yang dijatuhkan burung berbondong-bondong (thayran ababil). Hantaman batu itu berdampak cukup mengerikan, sehingga tubuh-tubuh pasukan itu bergelimpangan dengan tulang bersembulan laksana dedaunan yang dimakan ulat. Sisa pasukan yang selamat dari bencana ini menyusul bersua dengan maut kala mereka lari terbirit-birit kembali ke Yaman, termasuk Abrahah.
|
|
Kaspia Dzufari dan Meteorit
Apakah hujan batu panas yang menghancurkan pasukan Gajah itu? Ahli tafsir berbeda pendapat mengenainya. Sebagian menyebutnya sebagai tamsil bagi peristiwa seperti persebaran penyakit yang amat cepat dan ganas. Sementara sebagian lainnya berpendapat itu adalah benar-benar hujan batu panas dalam arti yang sesungguhnya. Mereka yang berpendapat demikian misalnya Fahrur Razi, Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti (dikenal sebagai Jalalain) serta Muhammad Abduh. Batu panas itu disebut berukuran sedikit lebih besar dari biji adas namun lebih kecil dari biji kacang hummus, sehingga dimensinya sekitar 1 hingga 2 cm. Deskripsi lebih detil ada dalam penuturan Fakhtihah binti Abi Thalib RA atau lebih dikenal sebagai Ummi Hani’, dimana batu-batu panas itu di kemudian hari (setelah mendingin) terlihat kemerahan layaknya Kaspia Dzufari, yakni batu-batu merah yang banyak dijumpai di Dzufar (Yaman).
Guna mengetahui hakikat Kaspia Dzufari, perlu kita tinjau tempat bernama Dzufar atau Zafar, yakni kota-kuno di propinsi Ibb (Yaman) yang terletak pada koordinat 14° 12’ LU 44° 24’ BT pada elevasi 2.600 meter dari permukaan laut. Kota kuno ini berdiri sejak awal milenium dan pada puncaknya pernah berperan sebagai ibukota kerajaan Himyar sebelum dipindahkan 130 km ke utara, yakni ke kota San’a. Meski demikian Zafar tetap berperan penting bahkan hingga masa pendudukan Aksumit seiring lintasan jalur perdagangan pesisir timur Laut Merah di sini. Jalur ini pula yang dihilir-mudiki penduduk Makkah secara rutin saban tahun dalam perniagaannya, khususnya pada hari-hari musim dingin. Sehingga kota kuno ini bukanlah tempat yang asing bagi bangsa Arab.
Secara geologis Zafar berdiri di atas Tameng Arabia-Nubia, bagian kerak bumi berusia sangat tua (lebih dari 600 juta tahun) yang menyusun kedua belah tepian Laut Merah. Mengikuti siklus geologisnya, Tameng Arabia-Nubia sedang mengawali proses pembentukan samudera baru lewat pembentukan dan perluasan Laut Merah melalui luapan magma dari lapisan selubung. Sebagai konsekuensinya terbentuklah retakan-retakan memanjang di sekujur sisi daratan pengapit Laut Merah. Di Yaman, luapan ini terjadi secara bertahap semenjak 32 juta tahun silam hingga era modern, namun puncaknya berlangsung antara 31 hingga 26 juta tahun silam. Magma yang keluar di permukaan bumi Yaman menjadi lava, yang tersebar menutupi daerah seluas hingga 5.000 kilometer persegi sebagai padang lava (al-harrah) yang ketebalannya hingga 3.000 meter.
Berbeda dengan vulkanisme umumnya, lava tersebut adalah lava basaltik yang banyak mengandung besi sebagai ferit (Fe3+). Jika lava basaltik membeku, terbentuklah batuan beku basalt. Jika telah cukup tua, basalt akan melapuk dan menghasilkan butir-butir batuan lebih kecil ataupun partikel-partikel tanah yang berwarna kemerah-merahan sebagai akibat teroksidasinya ferit di udara, sebuah proses yang serupa dengan besi berkarat. Selain dari pelapukan dan oksidasi basalt, batu berwarna merah atau kemerah-merahan juga bisa berasal dari turmalin, jasper maupun batuan yang banyak mengandung ortoklas. Namun turmalin dan jasper adalah batu mulia (permata) dan sangat jarang dijumpai di Yaman, sementara batuan berkristal ortoklas hanya terbentuk dari pembekuan lava andesitik, bukan basaltik, yang tidak dijumpai di Zafar dan sekitarnya. Karena itu pengertian Kaspia Dzufari lebih cenderung kepada bebatuan kemerah-merahan yang kaya besi, mirip dengan bebatuan basalt yang telah melapuk dan umum dijumpai di Zafar.
Darimana batuan kaya besi dan (semula) panas itu berasal? Secara umum ada di Bumi ada dua sumber batuan panas, yakni : 1). magma/lava beserta turunannya yang dilontarkan letusan gunung berapi, dan 2). meteoroid yang telah memasuki atmosfer sebagai meteor. Jazirah Arabia khususnya area di pesisir timur Laut Merah memang menjadi rumah bagi sejumlah gunung berapi dan beberapa diantaranya berukuran sangat besar. Beberapa diantaranya dikenal aktif dan memiliki catatan pernah meletus. Namun jaraknya terhadap kota suci Makkah cukup jauh. Gunung berapi terdekat, yakni Harrat Kishb (aktif namun catatan letusan tak diketahui), masih berjarak 230 km dari kota suci Makkah. Sementara gunung berapi teraktif sekaligus terbesar, yakni Harrat Rahat (meletus terakhir tahun 1256), bahkan berjarak 235 km dari kota suci Makkah. Agar bisa melontarkan kerikil panas (lapili) hingga ke kota suci Makkah, kedua gunung berapi tersebut harus meletus sangat dahsyat dengan skala kedahsyatan lebih besar ketimbang letusan Krakatau 1883. Konsekuensinya dampak yang ditimbulkan letusannya harus terasakan di kawasan cukup luas, bahkan jauh dari gunung. Tiadanya catatan dampak letusan sedahsyat Krakatau dari gunung-gunung berapi di Jazirah Arabia menunjukkan bahwa bebatuan panas yang menghancurkan pasukan Gajah kemungkinan besar tidak berasal dari letusan gunung berapi.
Meteor dan Ledakan Nuklir
Sehingga tersisa satu sumber potensial, yakni meteoroid yang telah memasuki atmosfer sebagai meteor dalam peristiwa yang dikenal sebagai tumbukan benda langit. Berbeda dengan letusan gunung berapi, dampak tumbukan benda langit dapat terlokalisir hanya di bagian tertentu dari sebuah wilayah terutama jika benda langitnya berukuran kecil.
Ada empat syarat yang harus dipenuhi bila batu-batu panas penghancur pasukan Gajah itu bersumber dari meteoroid. Yang pertama, karena batu itu berwarna kemerah-merahan maka meteoroidnya haruslah berasal dari asteroid yang sangat kaya akan besi dan nikel. Kedua, jika batu itu berukuran setara kerikil maka mereka berasal dari meteoroid kaya besi-nikel yang terpecah-belah saat melintasi atmosfer sebagai meteor-terang (fireball). Ketiga, jika batu itu masih panas saat berjatuhan di Wadi Muhassir, padahal meteorit kecil pada umumnya sudah mendingin kala tiba di permukaan Bumi, maka tumbukan itu disertai peristiwa pelepasan hampir seluruh energi kinetiknya di udara (airburst) dengan titik airburst di ketinggian cukup rendah sehingga jatuhnya keping-keping meteor yang tersisa tak punya waktu mencukupi untuk mendingin selama masih di udara. Dan yang keempat, energi yang dilepaskan airburst cukup kecil sehingga dampak sinar panas dan gelombang kejutnya terbatasi hanya di Wadi Muhassir saja tanpa keluar dari kawasan tersebut.
Saat meteoroid memasuki atmosfer Bumi sebagai meteor dan mengalami airburst, ia melepaskan energi kinetik dalam jumlah tertentu sesuai dimensi (massa)-nya dan kecepatannya. Pelepasan energi kinetik dalam airburst mirip dengan ledakan. Dan jika kuantitas energi kinetiknya cukup besar, yakni lebih besar dari 4.184 GigaJoule (1 kiloton TNT), maka pola ledakannya menyerupai ledakan nuklir, terkecuali radiasinya. Sehingga airburst berenergi tinggi pun melepaskan gelombang kejut (shockwave) dan panas (thermal rays) dengan segala akibatnya, termasuk bila mengenai manusia. Contoh terkini bagaimana airburst berenergi tinggi berdampak cukup signifikan pada manusia terlihat pada Peristiwa Chelyabinsk (Russia) 15 Februari 2013 silam, yang melepaskan energi 500 kiloton TNT hingga mengakibatkan kerusakan signifikan dan jatuhnya korban luka-luka akibat hempasan gelombang kejutnya. Sebagai pembanding, energi ledakan bom nuklir di Hiroshima pada akhir Perang Dunia 2 adalah 20 kiloton TNT.
Bagaimana dengan Wadi Muhassir? Simulasi berbasis ledakan nuklir menunjukkan bahwa airburst pada ketinggian 1.000 meter dari permukaan laut, atau 600 meter di atas Wadi Muhassir, mampu melepaskan gelombang kejut dan panas yang berdampak signifikan bagi daratan Wadi Muhassir jika energi kinetik yang dilepaskan sebesar 28 kiloton TNT atau 1,4 kali lipat kekuatan bom nuklir Hiroshima. Dampak gelombang kejut dan panas bagi manusia bergantung kepada jarak mendatarnya terhadap ground zero (titik di permukaan Bumi yang tepat ada di bawah titik airburst). Gelombang kejut bisa memecahkan memecahkan paru-paru bagi orang yang ada di sekitar ground zero, memecahkan gendang telinga untuk orang yang berada hingga jarak 1,5 km dari ground zero, sanggup melengkungkan logam hingga jarak 3,4 km dari ground zero dan bahkan masih sanggup menjatuhkan sesosok manusia yang berdiri meski berada pada jarak hingga 3,8 km dari ground zero. Terlihat bahwa tingkat kerusakan akibat hempasan gelombang kejut ini bervariasi mulai dari luka ringan-menengah (jatuhnya orang yang semula berdiri) hingga berat-mematikan (pecahnya gendang telinga dan paru-paru).
Sementara panas produk airburst mampu menciptakan luka bakar tingkat tiga bagi manusia hingga jarak 2,2 km dari ground zero, menghasilkan luka bakar tingkat dua hingga sejauh 2,6 km dari ground zero dan memproduksi luka bakar tingkat satu hingga jarak 3,5 km dari ground zero. Tingkatan kerusakan akibat hempasan panas juga bervariasi mulai dari ringan (luka bakar tingkat satu) hingga berat dan mematikan (luka bakar tingkat tiga). Luka bakar tingkat satu berciri khas memerahnya permukaan kulit akibat paparan panas dan mudah sembuh. Sementara pada luka bakar tingkat tiga, tak hanya permukaan kulit namun jaringan kulit dibawahnya dan bahkan jaringan otot/pembuluh darah pun terpengaruh. Proporsi bagian tubuh yang terbakar dalam luka bakar tingkat tiga mencapai lebih dari 50 % sehingga cukup berpotensi fatal. Panas yang menyebabkan luka bakar tingkat tiga setara dengan panas yang sanggup menghanguskan batang-batang tanaman keras, juga setara dengan panas yang mampu membakar kertas secara spontan.
Secara geografis Wadi Muhassir merupakan bagian dari lembah besar yang semi tertutup dan dipagari oleh jajaran perbukitan berbatu nan tandus di sisi utara, timur dan baratnya. Lembah besar itu hanya terbuka di ujung selatannya saja, dimana padang Arafah berada. Seluruh kawasan Mina dan Muzdalifah terletak di dalam lembah besar ini. Maka meskipun hanya berjarak 6 km saja dari pusat kotasuci Makkah, namun antara Wadi Muhassir dan kotasuci tersebut dipisahkan oleh perbukitan berbatu yang menjulang hingga setinggi 150 meter. Karakter geografis Wadi Muhassir yang demikian membuat gelombang kejut dan panas yang diproduksi airburst maupun peristiwa mirip ledakan nuklir lainnya hanya berdampak di dalam lembah tanpa bisa keluar darinya karena halangan alamiah dari perbukitan berbatu yang menjulang tinggi. Hal ini mirip dengan apa yang terjadi pada kota Nagasaki saat dibom nuklir pada 9 Agustus 1945 menjelang berakhirnya Perang Dunia 2. Meski kekuatan bom nuklir Nagasaki lebih besar ketimbang Hiroshima, namun dengan kota yang berada di dasar lembah dipagari perbukitan di sekelilingnya, maka luas area yang terhantam gelombang kejut maupun panas di Nagasaki justru lebih kecil dibanding Hiroshima. Implikasinya korban jiwa yang jatuh di Nagasaki pun lebih terbatas.
Perhitungan lebih lanjut dengan menggunakan persamaan-persamaan dari Collins (2005) menunjukkan airburst berenergi 28 kiloton TNT bisa terjadi jika ada asteroid kaya besi-nikel (massa jenis 7.900 kg per meter kubik) berdiameter 7,25 meter yang menuju ke Bumi sebagai meteoroid. Saat memasuki atmosfer Bumi, asteroid bermassa 1.600 ton itu melejit pada kecepatan 12,2 km/detik (44.100 km/jam), kecepatan yang sangat tinggi untuk ukuran manusia namun tergolong lambat untuk ukuran benda langit seperti asteroid dan komet pengancam Bumi. Begitu memasuki atmosfer, meteoroid ini berubah menjadi meteor-terang (fireball). Jika lintasan meteoroid membentuk sudut zenith 70° terhadap permukaan Wadi Muhassir (atau datang dari ketinggian rendah yakni hanya 20°), maka meteor-terang itu akan memijar hingga hampir sama terangnya dengan Bulan purnama, sehingga mudah dilihat manusia meski di pagi hari. Di sepanjang lintasannya meteor-terang itumemproduksi jejak asap tebal diiringi gemuruh dentuman sonik.
Pada ketinggian sekitar 2.300 meter dari permukaan laut, besarnya tekanan ram akibat tingginya kecepatan meteor membuat struktur materi penyusun asteroid tak sanggup lagi mempertahankan kekuatannya. Maka terjadilah awal pemecah-belahan yang membuat meteor-terang menjadi berkeping-keping. Reaksi pemecah-belahan terus berlangsung hingga kepingan-kepingan tersebut sampai di ketinggian 1.000 meter dari permukaan laut, saat airburst terjadi dan menghasilkan kilatan cahaya yang nyaris seterang Matahari. Selain menghempaskan gelombang kejut dan panas, airburst juga meremukkan sebagian keping meteor dan mengubahnya menjadi bubuk debu yang melayang di udara. Sebagian lainnya tetap bertahan dan melanjutkan perjalanan ke permukaan Bumi. Namun dengan titik airburst yang sangat rendah, maka keping-keping meteor yang tersisa ini hanya menempuh jarak 3.000 meter lagi di udara sebelum kemudian menjatuhi Wadi Muhassir. Akibatnya keping-keping meteor tersebut masih sangat panas dan berkecepatan tinggi, sehingga saat jatuh di Wadi Muhassir bisa diibaratkan laksana guyuran peluru kaliber besar.
Kehancuran oleh Meteor
Dapat dilihat bahwa peristiwa airburst sebuah asteroid kaya besi-nikel, yang adalah induk meteorit siderit (besi), akan menghasilkan tiga dampak signifikan yang berdaya bunuh bagi manusia. Pertama adalah hempasan gelombang kejutnya. Kemudian yang kedua, paparan panasnya. Dan yang terakhir adalah hantaman keping-keping meteornya yang masih tersisa sebagai meteorit.
Dengan dampak semacam itu kita bisa membayangkan apa yang terjadi pada pasukan Gajah saat mendadak terlihat adanya meteor-terang mendekat dengan cepat di langit barat. Awalnya mereka tercengang oleh pemandangan aneh di langit yang dipenuhi kilatan cahaya terang, percikan api mirip kembang api, jejak asap tebal kelabu yang bergulung-gulung dan sama sekali tak mirip awan serta gemuruh suara menderu laksana ribuan burung yang sedang mencicit di langit. Terpana oleh semua pemandangan yang tak pernah disaksikan tersebut, tak satupun yang sempat bereaksi. Hingga terjadilah kilatan cahaya sangat terang menyamai Matahari yang disertai dentuman suara menggelegar yang memicu kepanikan luar biasa. Namun belum sempat bereaksi lebih jauh, mendadak udara terasa memanas hebat bersamaan dengan terjadinya hempasan angin luar biasa kencang sebagai manifestasi dari panas dan gelombang kejut. Panas dibawa oleh sinar inframerah sehingga melaju dengan kecepatan cahaya sementara gelombang kejut menjalar dengan kecepatan supersonik.
Hantaman gelombang kejut membuat para prajurit bertumbangan beserta hewan kendaraannya. Pada saat bersamaan panas tinggi pun menebar petaka. Akibatnya mereka yang sudah menderita luka-luka fisik dalam beragam tingkat akibat hempasan gelombang kejut kini mendapatkan tambahan luka-luka bakar dalam beragam tingkat akibat paparan panas. Sebagian mereka mungkin langsung menghangus akibat luka bakar tingkat tiga yang fatal. Sementara sebagian lainnya harus menahan perih menderita luka-luka fisik akibat hantaman gelombang kejut dan luka bakar tingkat dua maupun satu. Di tengah kekacauan itu mendadak langit mengguyurkan batu-batu panas seukuran kerikil yang melejit cepat laksana peluru kaliber besar, yang kini kita kenal sebagai peluru khusus untuk berburu binatang besar. Tubuh-tubuh yang terluka itu pun terhantam batu-batu itu secara beruntun. Maka tersungkurlah sebagian besar mereka hingga menemui ajalnya. Sisanya yang luput dari kematian di Wadi Muhassir dan lari terbirit-birit pulang ke Yaman masih merasakan penderitaan dengan luka-luka bakar dan fisik di sekujur tubuhnya. Tanpa perawatan memadai, luka-luka tersebut akan menjadi tempat hinggap dan berpesta poranya bakteri patogen hingga timbul infeksi dalam beragam tingkat keparahan. Tanpa penanganan medis memadai, maka satu persatu dari mereka yang berhasil menyelamatkan diri pun menyusul tewas berjatuhan di sepanjang perjalanan pulang ke Yaman. Bahkan meskipun telah tiba di Yaman, seperti Abrahah.
Dalam sejarah umat manusia, bencana akibat hantaman benda langit (meteor) telah beberapa kali terjadi. Misalnya di Cina pada tahun 1490 yang disebut-sebut menewaskan hingga 10.000 orang, meski jumlah korban jiwa ini dianggap terlalu dibesar-besarkan. Juga di pulau Saarema di Teluk Riga (Estonia) pada 7.000 tahun silam, saat sebongkah asteroid kaya besi-nikel menghantam dengan titik target tepat berimpit dengan pemukiman suku Nordik di sini. Tumbukan itu melepaskan energi 1,5 kiloton TNT dan sontak mengubah pemukiman menjadi daratan gersang berhias lubang-lubang kawah yang salah satunya kini tergenangi air sebagai Danau Kaali (Kaalijarv). Hubungan tumbukan benda langit dengan hancurnya pasukan Gajah akan terbukti jika pada lapisan-lapisan batuan di Wadi Muhassir dijumpai jejak meteorit besi-nikel dari masa 14 abad silam. Namun kalaupun benar demikian, maka mengapa terdapat sebutir asteroid yang memiliki massa demikian tepat dan pada waktu yang tepat jatuh ke Wadi Muhassir di antara milyaran asteroid lainnya yang bergentayangan di dalam tata surya adalah pertanyaan yang tak bisa dijawab perhitungan-perhitungan ini sebagai bagian dari rahasia Allah SWT. Wallahua’lam bishshawab.
Referensi :
Collins dkk. 2005. Earth Impact Effects Program : A Web–based Computer Program for Calculating the Regional Environmental Consequences of a Meteoroid Impact on Earth. Meteoritics & Planetary Science 40, no. 6 (2005), 817–840.
lho bukannya sudah jelas dikatakan kalo yg menghancurkan pasukan gajah itu burung2 yg membawa batu panas, bkn meteroid…??