Peristiwa bintang meledak atau supernova SN 2012aw di galaksi spiral M95 menggamit minat banyak orang guna mempelajarinya. Sebagian mengamati bintang yang meledak itu secara langsung, entah menggunakan teleskop besar yang berpangkalan di Bumi maupun memanfaatkan beragam teleskop antariksa yang saat ini masih bertugas aktif sembari mengorbit Bumi. Sementara sebagian lainnya berkutat menggali timbunan arsip digital yang pernah dihasilkan oleh teleskop–teleskop tersebut ataupun yang segenerasi dengannya. Sehingga, meski supernova telah diketahui manusia (secara tidak sengaja) sejak hampir 10 abad silam dan penjelasan terhadap fenomena ini telah berkembang pesat dalam seabad terakhir, seiring perkembangan relativitas umum dan mekanikan kuantum dalam fisika, peristiwa supernova kontemporer seperti halnya SN 2012aw menyediakan kesempatan lebih besar bagi kita untuk menyaksikan secara langsung bagaimana sebuah bintang biasa bertransformasi menjadi benda langit nan eksotik.
Berdasarkan data–data yang berjibun banyaknya di Arsip Warisan Hubble, diketahui kalau bintang induk supernova SN 2012aw sempat terekam lewat mata tajam instrumen Wide Field and Planetary Camera 2 (WFPC 2) teleskop antariksa Hubble antara bulan Desember 1994 hingga Januari 1995. Bintang yang sama juga terekam lewat teleskop antariksa Chandra, yang bekerja pada spektrum sinar–X, pada 2005 silam.
|
|
Bintang induk tersebut amat redup, dengan tingkat terang +27 sehingga hanya nampak sebagai bintik putih samar dalam citra WFPC 2. Sebagai pembanding, planet kerdil Pluto saja (yang amat sulit dilihat, bahkan dari observatorium seperti Bosscha sekalipun) tingkat terangnya masih +14. Sehingga bintang induk SN 2012aw adalah 159 ribu kali lebih redup ketimbang Pluto. Amat besarnya jarak antara Bumi dengan bintang induk SN 2012aw ini, sehingga seberkas cahaya dari bintang itu butuh waktu 32,6 juta tahun hingga tiba di Bumi, membuat bintang itu terlihat amat redup. Padahal sejatinya bintang induk SN 2012aw adalah sebuah bintang maharaksasa yang berkali–kali lipat lebih besar ketimbang Matahari. Kini kita mengetahui, sebelum menjadi supernova, bintang induk SN 2012aw adalah 8 kali lebih berat ketimbang Matahari dan memancarkan energi 1.800 kali lebih besar ketimbang Matahari. Ukuran–ukuran tersebut menempatkan bintang ini sebagai bintang maharaksasa merah (red giant) yang dikenal memiliki suhu rendah. Suhu permukaan bintang ini sekitar 3.670 derajat Celcius, lebih rendah dibanding Matahari kita yang mencapai 6.000 derajat Celcius.
Setelah menjadi supernova SN 2012aw, terjadi peningkatan tingkat terang hingga hampir 14 magnitudo, yang setara dengan peningkatan pelepasan energi hingga sebesar 300 ribu kali lipat dibanding semula. Pantauan teleskop antariksa Chandra memastikan supernova tersebut memiliki suhu sangat tinggi, hingga lebih dari 1 milyar derajat Celcius. Supernova ini juga dipastikan merupakan supernova tipe II, yang merupakan tahap transformasi dari sebuah bintang maharaksasa merah menjadi bintang neutron yang eksotik.
Apa sih bintang neutron itu?
Bintang neutron adalah sebuah benda langit eksotik yang sangat kecil (diameter hanya 10 sampai 15 km saja) namun amat sangat padat. Setetes materi bintang neutron dengan volume ‘hanya’ 1 mililiter memiliki berat lebih dari 100 juta ton. Bintang neutron juga dikenal memiliki rotasi yang amat cepat sehingga mampu menyelesaikan satu putaran dalam tempo kurang dari 1 detik. Beberapa bintang neutron bahkan berputar hanya dalam orde milidetik. Selain itu bintang neutron juga memiliki medan magnet teramat kuat, yakni antara 200 juta hingga 20 trilyun kekuatan medan magnet Bumi. Demikian kuatnya medan magnet ini sehingga mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya (yang umumnya berupa awan gas dan debu sisa ledakan bintang) dan memasok mayoritas energi kedalamnya.
Bagaimana obyek seaneh bintang neutron bisa ada di jagat raya?
Segala berawal dari bintang. Dalam perspektif pengetahuan terkini, sebuah bintang bisa eksis di jagat raya sebagai akibat dari berlakunya keseimbangan antara dua gaya yang saling bertolak–belakang. Gaya yang pertama adalah gaya gravitasi, yang cenderung memaksa sebuah bintang untuk terus mengecil (mengerut). Sementara gaya yang kedua adalah gaya tekan akibat tekanan radiasi yang cenderung memaksa sebuah bintang untuk terus membesar (meluas). Ironisnya kedua gaya yang bertolak–belakang itu sama–sama dihasilkan oleh materi didalam bintang itu sendiri.
Awalnya yang donminan adalah gaya gravitasi, yang memaksa sebuah bakal bintang (protobintang) untuk terus mengerut sehingga materi didalamnya menjadi termampatkan. Karena termampatkan demikian kuat, materi itu mengalami pemanasan hebat sehingga timbullah mekanisme Kelvin–Helmholtz yang membuat suhu bakal bintang, khususnya bagian pusatnya, melonjak hebat sekaligus memeras habis elektron–elektron tiap atom materi. Sehingga bakal bintang kini lebih merupakan campuran inti–inti atom dan elektron bebas. Secara alami inti–inti atom bersifat tolak–menolak karena muatan positifnya. Namun pada titik tertentu, yakni dalam suhu lebih dari 10 juta derajat Celcius, energi tiap inti atom mampu mengalahkan gaya tolak–menolaknya. Sehingga inti–inti atom dapat bergabung menjadi satu dan membentuk inti atom baru yang lebih berat.
Inilah reaksi fusi termonuklir, yang melepaskan energi besar sehingga menjaga tingginya suhu yang diperlukan bagi keberlangsungannya. Reaksi ini menghasilkan sinar gamma yang radioaktif dan melesat menjauhi inti dalam jumlah yang amat luar biasa, sehingga menghasilkan tekanan radiasi yang mampu mengimbangi pengerutan akibat gravitasi.
Sebuah bintang umumnya ‘membakar’ Hidrogen untuk diubah menjadi Helium dalam reaksi fusi termonuklirnya, baik secara langsung maupun tak langsung. Meski jumlah Hidrogen dalam bintang terbatas, namun sebuah bintang secara mengagumkan tetap mempertahankan dirinya dengan ‘membakar’ Helium menjadi unsur yang lebih berat, seperti Karbon, agar tekanan radiasinya tetap terjaga. Masalahnya, bagaimana jika Helium pun sudah habis dimasak?
Disinilah garis nasib antara bintang–bintang kurus (yakni yang massanya kurang dari 8 kali Matahari kita) dengan bintang–bintang gendut mulai berbeda. Begitu Helium–nya habis, bintang gendut segera mulai membakar Karbon menjadi Oksigen. Begitu Karbon habis, giliran Oksigen dibakar menjadi Silikon. Dan demikian pula saat Oksigen habis, giliran Silikon yang dibakar menjadi Besi. Setiap tahap pembakaran unsur–unsur tersebut diikuti dengan naiknya kepadatan inti bintang sebesar rata–rata 100 kali lipat nilai semula. Sehingga tatkala Silikon mulai dibakar, kepadatan inti bintang telah mencapai orde 100 ton per mililiter, atau meningkat sejuta kali lipat di atas kepadatan inti Matahari.
Masalah lebih pelik muncul kala Silikon habis terbakar. Reaksi fusi termonuklir tidak mungkin membakar Besi menjadi unsur yang lebih berat lagi, karena pembakaran Besi bersifat endotermik (menyerap lebih banyak energi dibanding yang bisa dihasilkannya). Sehingga reaksi fusi termonuklir pun terhenti. Akibatnya, gravitasi kembali membuat bintang mengerut dan terus mengerut. Ini menyebabkan kepadatan inti bintang meningkat sekaligus menaikkan energi sinar gamma dalam bintang. Akibatnya terjadilah fotodisosasi, dimana sinar gamma mulai memecahkan Besi menjadi unsur–unsur yang lebih ringan secara terus menerus sehingga akhirnya terbentuk Helium. Helium pun akhirnya terurai menjadi proton dan neutron.
Pengerutan menyebabkan sisa–sisa Hidrogen dan Helium yang masih ada terbakar dengan kecepatan reaksi sangat tinggi, jauh di atas normal. Terjadilah ledakan superdahsyat yang melepaskan energi teramat besar dalam sekejap. Inilah supernova tipe II. Dalam kasus SN 2012aw, energi yang dilepaskan setara dengan 540 juta kali lipat energi Matahari kita, padahal energi Matahari tiap detiknya saja sudah setara dengan ledakan 4,6 trilyun butir bom nuklir Hiroshima.
Ledakan yang teramat dahsyat itu melemparkan bagian–bagian bintang yang semula adalah lapisan terluar dan selubung hingga terhempas menjadi remah–remah mikro dan melejit menjauhi lokasi ledakan dengan kecepatan amat tinggi. Pada saat yang sama, inti bintang tetap melanjutkan pengerutan akibat gravitasi sehingga tercapai kepadatan demikian tinggi yang membuat tiap butir elektron memiliki energi lebih dari cukup guna bergabung dengan proton hingga akhirnya membentuk neutron. Reaksi pembentukan neutron adalah juga reaksi endotermis, sehingga dalam kondisi normal takkan dapat terjadi. Inilah yang membuat hampir seluruh bagian pada sisa inti bintang yang telah meledak itu berubah menjadi neutron. Gaya ikat antar neutron kini menjadi pembatas baru yang menghentikan bencana pengerutan lebih lanjut akibat gravitasi bintang induknya.
Sebuah bintang neutron tak mungkin memiliki massa lebih besar dari 1,44 kali lipat Matahari kita (angka ini dikenal sebagai batas Chandrasekhar). Faktanya, massa bintang–bintang neutron yang telah kita ketahui berada dalam rentang antara 1,25 hingga 1,44 kali lipat Matahari. Namun bintang gendut yang menjadi induk bintang neutron haruslah seberat 8 hingga 12 kali lipat Matahari. Dengan demikian, dalam sebuah peristiwa supernova tipe II, sebagian besar massa bintang gendut yang menjadi induknya terlempar keluar menjadi remah–remah sisa ledakan.
Transformasi sebuah bintang gendut menjadi bintang neutron diiringi dengan perubahan radikal periode rotasinya sebagai akibat amat kecilnya ukuran bintang neutron. Sebuah bintang neutron hanya memiliki jari–jari antara 10 hingga 15 km saja. Maka jika sebuah bintang gendut berjari–jari 100 juta km dan massa 8 kali lipat Matahari dan periode rotasi 100 hari berubah menjadi bintang neutron dengan massa 1,4 kali lipat Matahari dan jari–jari 10 km, periode rotasinya menyusurt drastis jadi tinggal 15 milidetik. Interaksi antara cepatnya rotasi bintang neutron dengan besarnya medan magnetiknya menghasilkan pancaran gelombang elektromagnetik terfokus yang turut berotasi cepat, sehingga kita menyaksikannya sebagai kelipan/denyutan. Inilah bintang berdenyut pulsar (pulsating star). Dengan ukuran demikian kecil sementara massanya demikian besar, kuat medan gravitasi (percepatan gravitasi) di permukaan bintang neutron amat besar hingga lebih dari 100 milyar kali lipat percepatan gravitasi di Bumi.
Bagaimana kita berkenalan dengan bintang neutron?
Bintang neutron selalu identik dengan supernova tipe II. Per teori, bintang neutron baru disadari pada abad ke–20 seiring perkembangan pesat fisika yang bertumpu pada dua puncak modern: relativitas umum dan mekanika kuantum. Seorang Subrahmanyan Chandrasekhar menghabiskan waktu pelayarannya di akhir dekade 1920–an dari India ke Inggris (guna menempuh studi di London) dengan menghitung kemungkinan–kemungkinan mengerutnya bintang berdasarkan perspektif relativitas umum. Pada titik inilah ia menemukan batas Chandrasekhar, yang amat menghebohkan dunia ilmiah saat itu.
Walter Baade dan Fritz Zwicky juga memikirkan hal serupa, namun mereka lebih berkonsentrasi pada peristiwa supernova. Namun baru pada 1967, lewat tangan dingin Jocelyn Bell Burnell dan Anthony Hewish di Inggris, bintang neutron pertama menguakkan dirinya sebagai pulsar dengan periode rotasi 1,337 detik. Dan setahun berikutnya pulsar yang memancarkan cahaya tampak pun ditemukan di dalam pusat Nebula Kepiting yang terkenal itu, dengan periode rotasi hanya 33 milidetik.
Namun peristiwa yang menyebabkan terbentuknya bintang neutron, yakni supernova tipe II, sudah dikenali manusia jauh hari sebelumnya (meski tanpa sengaja). Pada 4 Juli 1054, sebuah bintik cahaya yang sangat terang teramati muncul di langit pada rasi Taurus. Demikian terangnya (dengan tingkat terang antara –4 hingga –7,5 atrau lebih terang dibanding Venus) sehingga bintik cahaya tersebut masih tetap bisa dilihat bahkan di siang bolong hingga 27 Juli 1054. Pemandangan ini segera menarik perhatian astronom–astronom kuno di Cina, Jepang, Abbasiyah (Irak), Armenia, Italia dan Amerika Utara. Astronom era Abbasiyah mencatat bintik cahaya terang itu bertahan selama 40 hari di langit, sementara astronom Cina mencatatnya lebih lama lagi karena bertahan hingga 17 April 1056 sebelum kemudian lenyap dari pandangan mata. Pada saat itu tak ada yang tahu benda langit apakah yang menimbulkan bintik cahaya seterang itu.
Pada 1731 John Bevis, astronom amatir Inggris, menemukan sebentuk kabut gas dan debu (nebula) yang samar dan menyerupai nyala api lilin di rasi Taurus. Seabad kemudian, barulah nebula ini mendapatkan namanya yang terkenal : Nebula Kepiting. Namun baru pada 1968–lah sebuah pulsar ditemukan di pusat Nebula Kepiting, awalnya dideteksi lewat teleskop radio Arecibo dan kemudian menyusul dengan teleskop optik.
Nebula Kepiting menyajikan pemandangan hampir lengkap tentang bagaimana nasib sebuah bintang gendut pasca peristiwa supernova. Gas–gas berwarna merah dan kehijauan di bagian pinggir nebula merupakan representasi lapisan–lapisan terluar bintang gendut yang menjadi induk supernova. Remah–remah bintang gendut ini mengembang dengan kecepatan 2.500 km/detik. Sementara gas–gas berwarna kebiruan di bagian tengah dan pusat nebula merepresentasikan elektron–elektron yang dipercepat oleh medan magnetik bintang neutron yang amat kuat sehingga melejit dengan kecepatan setara setengah kecepatan cahaya. Sebagai pembanding, di Bumi kita takkan pernah menyaksikan elektron–elektron secepat itu, kecuali dalam instrumen pemercepat partikel (akselerator) yang dikenal sebagai sinkrotron. Pantauan teleskop antariksa Hubble menunjukkan konsentrasi elektron–elektron yang berkecepatan sangat tinggi itu berada di daerah berbentuk lingkaran yang berjari–jari 0,1 hingga 1 tahun cahaya dari bintang neutron–nya.
Bagaimana jika bintang neutron berada di dekat kita?
Bintang neutron memang berasal dari bintang biasa, namun tak semua bintang mampu bertransformasi menjadi bintang neutron di akhir hayatnya. Matahari kita misalnya, takkan pernah bisa menjadi bintang neutron karena tergolong bintang kurus. Berakhirnya pembakaran Helium pada Matahari kelak hanya akan diikuti dengan mengerutnya Matahari hingga seukuran Bumi kita tanpa dibarengi oleh peristiwa supernova.
Jika sebuah bintang gendut yang berdekatan dengan tata surya kita bertransformasi menjadi bintang neutron melalui peristiwa supernova, sedikitnya ada dua konsekuensi bagi Bumi kita. Yang pertama, supernova tersebut akan menjadikan langit malam yang benderang. Mari gunakan bintang Betelgeuse di rasi Orion yang berjarak 430 tahun cahaya dari Bumi kita sebagai contoh kasus. Bintang ini merupakan bintang maharaksasa merah yang telah mencapai tahap bintang variabel, yakni tahap terakhir sebelum menjadi supernova tipe II. Sebagai bintang variabel, Betelgeuse mengembang dan mengerut secara teratur sehingga pancaran cahayanya pun naik–turun secara teratur pula. Jika Betelgeuse meledak sebagai supernova tipe II, maka kenaikan energinya yang amat dramatis akan menjadikan langit malam benderang layaknya malam dengan Bulan purnama. Malam yang terang benderang ini akan bertahan hingga waktu tertentu, mungkin sebulan atau bahkan enam bulan berturut–turut.
Konsekuensi kedua lebih tak kasat mata dibanding yang pertama, namun dampaknya lebih panjang. Selain cahaya, supernova sebenarnya melepaskan energinya dalam seluruh spektrum gelombang elektromagnetik, mulai dari yang terpanjang hingga yang terpendek. Termasuk didalamnya adalah spektrum sinar–X dan sinar gamma, dua jenis sinar yang dikenal bersifat radioaktif karena mampu membentuk ion–ion dari materi yang tersinarinya. Di atmosfer Bumi, pancaran sinar X dan gamma dalam batas intensitas tertentu mampu memecahkan molekul–molekul Nitrogen dan Oksigen untuk kemudian membentuk oksida nitrogen (NOx) dalam rangkaian reaksi yang kompleks. NOx merupakan molekul aktif, yang jika bereaksi dengan molekul berstabilitas rendah seperti Ozon (O3) mampu memecahkannya sehingga terbentuk Nitrogen dioksida (NO2) dan gas Oksigen (O2). Sehingga sinar–X dan gamma yang menembus atmosfer berpeluang merusak lapisan Ozon.
Normalnya, pancaran sinar–X dan gamma yang menembus atmosfer Bumi berasal dari Matahari dengan jumlah sangat kecil sehingga reaksi perusakan Ozon tidak terjadi. Situasinya berbeda jika sinar–X dan gamma tersebut berasal dari supernova tipe II. Dengan suhu yang sangat tinggi (mencapai lebih dari semilyar derajat Celcius), maka spektrum gelombang elektromagnetik yang dipancarkan supernova tipe II akan lebih didominasi oleh sinar–X dan gamma, dengan puncak pada panjang gelombang 0,03 Angstrom untuk suhu semilyar derajat Celcius. Akibatnya intensitas sinar–X dan gamma yang diterima atmosfer Bumi kita dari sebuah supernova tipe II akan cukup besar sehingga tidak hanya mampu merusak lapisan Ozon, namun bahkan memusnahkannya tanpa sisa.
Diperhitungkan, supernova tipe II yang terjadi pada bintang gendut dengan jarak kurang dari 26 tahun cahaya mampu memusnahkan seluruh bagian lapisan Ozon di Bumi kita. Sebagai gambaran, saat terjadi peristiwa supernova tipe II di tahun 1054 itu, sempat terjadi kerusakan lapisan Ozon di atmosfer Bumi, yang diindikasikan dari meningkatnya konsentrasi gas–gas oksida nitrogen yang terjebak di lembaran–lembaran es Greenland dan Antartika. Padahal supernova itui berlangsung pada jarak 6.000 tahun cahaya dari Bumi kita.
mantab gan artikelnya.. jadi sedikit ngerti dan tambah pengetahuan tentang jagad raya ini..